BAB
XII
PENYELESAIAN
SENGKETA
12.1
Pendahuluan
Pengertian
sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia adalah pertentangan atau konflik. Konflik
berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok,
atau organisasi-organisasi terhadap satu obyek permasalahan. Menurut Winardi,
pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu
obyek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Menurut
Sarjita, sengketa pertanahan adalah: “Perselisihan yang terjadi antara dua
pihak atau lebih yang merasa atau dirugikan pihak-pihak tersebut untuk
penggunaan dan penguasaan hak atas tanahnya, yang diselesaikan melalui musyawarah
atau melalui pengadilan. Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat, Sengketa
adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang
berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat
hukum bagi keduanya.
Penyelesaian
sengketa secara formal berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri atas
proses melaluli pengadilan (litigasi) dan arbitrase (perwasitan), serta proses
penyelesaian-penyelesaian konflik secara informal yang berbasis pada
kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui negosiasi, mediasi.
12.2
Cara-Cara Penyelesaian Sengketa
Didalam
penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, antara lain
negosiasi (negotiation), melalui pihak ketiga, mediasi, konsiliasi, arbitrase,
peradilan, dan peradilan umum.
12.2.1 Negosiasi (Negotiation)
Negosiasi
(negotiation) adalah proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai
kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak
(kelompok atau organisasi) lain. Negosiasi juga diartikan suatu cara penyelesaian
sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang berperkara.
Sementara
itu, yang harus diperharikan bagi para pihak yang melakukan perundingan secara
negosiasi (negotiation) harus mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan dengan
damai.Namun, penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui pihak ketiga dapat
terjadi dengan cara, antara lain mediasi arbitrase.
12.2.2 Mediasi
Mediasi
adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu
perselisihan sebagai penasihat. Dengan demikian, dalam hal ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa mediasi merupakan salah satu bentuk negosiasi antara para
pihak yang bersengketa dan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu demi
tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis.
Sementara
itu, pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketa dinamakan
sebagai mediator. Oleh karena itu, pengertian mediasi mengandung unsur-unsur,
anatara lain
1. Merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa
berdasarkan perundingan;
2. Mediator terlibat dan diterima oleh para
pihak yang bersengketa didalam perundingan;
3. Mediator bertugas membantu para pihak
yang bersengketa untuk mencari penyelesaian;
4. Tujuan mediasi untuk mencapai ata
menghasilkan kesepakatan yang diterima pihak-pihak yang bersengketa guna
mengakhiri sengketa.
Dengan
demikian, tugas utama mediator sebagai fasilitator dan menemukan dan merumuskan
persamaan pendapat, seperti berikut.
1. Sebagai tugas utama adalah bertindak
sebagai seorang fasilitator sehingga terjadi pertukaran informasi yang dapat
dilaksanakan.
2. Menemukan dan merumuskan titik-titik
persamaan dari argumentasi para pihak dan berupaya untuk mengurangi perbedaan
pendapat yang timbul (penyesuaian persepsi), sehingga mengarahkan kepada suatu
keputusan bersama.
12.2.3 Konsiliasi
Konsiliasi
adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai
persetujuan dan penyelesaian. Dengan demikian, konsiliasi merupakan proses
penyelesaian sengketa alternatif dan melibatkan pihak ketiga yang diikutsertakan
untuk menyelesaikan sengketa.
Sementara
itu, mengenai konsiliasi disebutkan didalam buku Black’s Law Dictionay,
Conciliation
is the adjustment and settlement of a dispute in a friendly, unantagonistic
manner used in court before trial with a view towards avoiding trial and in
labor dispute before arbitrarion. Court of conciliation is court with propose
terms of adjustments, so as to avoid litigation.
Namun,
apa yang disebutkan dalam Black’s Law Dictionary pada prinsipnya konsiliasi
merupakan perdamaian sebelum sidang peradilan (litigasi).
Dengan
demikian, konsiliator dalam proses konsiliasi harus memiliki peran yang cukup
berarti. Oleh karena itu, konsiliator berkewajiban untuk menyampaikan
pendapat-pendapatnya mengenai duduk persoalannya.
Dalam
menyelesaikan perselisihannya, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk
menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa.
Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat putusan dalam sengketa untuk
dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi
yang diambil sepenuhnya oleh parah pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam
bentuk kesepakatan diantara mereka.
12.2.4 Arbitrase
Arbitrase
adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Dalam hal ini, ada beberapa
definisi yang diberikan oleh para ahli hukum, antara lain Subekti dan
Abdulkadir Muhammad.
a.
Subekti mengatakan arbitrase merupakan
suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit
yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk dan menaati keputusan
yang akan diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih atau ditunjuk.
b.
Abdulkadir Muhammad mengatakan arbitrase
merupakan badan peradilan swasta diluar
lingkungan peradilan unum yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase
adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh
pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan
merupakan kehendak bebas pihak-pihak yang bersengketa. Kehendak bebas ini
dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah
terjadi sengketa sesuai dengan asa kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.
c.
Dalam Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970, menyatakan bahwa penyelesaian perkara diluar pengadilan atas
dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan. Akan tetapi
putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial (exexutoir) setelah
memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.
Suatu
perjanjian arbitrase tidak menjadi batal walaupun disebabkan oleh suatu
keadaan, seperti dibawah ini:
a. Meninggalnya salah satu pihak,
b. Bangkrutnya salah satu pihak,
c. Novasi (pembaharuan utang),
d. Insolvensi (keadaan tidak mampu membayar)
salah satu pihak,
e. Pewarisan,
f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya
perikatan pokok.
g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut
dialihtugaskan pada pihak kegita dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian
arbitrase tersebut, atau
h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian
pokok.
Dalam
pada itu, arbitrase ada dua jenis, yakni arbitrse ad hoc atau arbitrase volunter
dan arbitrase institusional.
1. Arbitrse ad hoc atau arbitrase volunter
Arbitrse
ad hoc atau arbitrase volunter merupakan arbitrase yang dibentuk secara khusus
untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu. Oleh karena itu
arbitrse ad hoc bersifat “insidentil”, dimana kedudukan dan keberadaannya hanya
untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu maka apabila telah
menyelesaikan sengketa dengan diputuskan perkara tersebut, keberadaan dan
fungsi arbitrse ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.
2. Arbitrase institusional
Arbitrase
institusional merupakan suatu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat
“permanen”, sehingga Arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya dan
tidak bubar, meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.
Sementara
itu, di Indonesia terdapat dua lembaga arbitrase yang memberikan jasa
arbitrase, yakni Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI).
Dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, para pihak berhak unruk memohon pendapat
yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu
perjanjian. Lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para
pihak dalam suatu perjanjian dan memberikan suatu pendapat yang mengikat
(binding opinion) mengenai persoalan yang berkenan dengan perjanjian tersebut,
misalnya terdapat penafsiran ketentuan yang belum jelas, yakni adanya
penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan munculnya
keadaan yang baru.
Dengan
demikian, putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum dan
mengikat para pihak. Keputusan arbitrase bersifat final, berarti putusan
arbitrase merupakan putusan final karenanya tidak dapat diajukan banding, kasasi,
atau peninjauan kembali.
Sementara
itu, ketua pengadilan negeri dalm memberikan perintah pelaksanaan kepurusan
arbitrase harus memeriksa syarat-syarat untuk dijadikan suatu putusan
arbitrase, seperti :
a.
Para pihak telah menyetujui bahwa sengketa
diantara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase;
b.
Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa
melaluli arbitrase dimuat dalam suatu dokumen yang ditanda tangani oleh parah
pihak;
c.
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase hanya di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan;
d.
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase adalah yang tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Dalam
hal pelaksanaan keputusan arbitrase internasional berdasarkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999, yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sementara
itu, berdasarkan pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, suatu putusan
arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum
Republik Indonesia, jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut.
a.
Putusan arbitrase internasional dijatuhkan
oleh arbiter atau majelis arbitrase disuatu negara yang dengan negara Indonesia
terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multiteral mengenai
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
b.
Putusan arbitrase internasional terbatas
pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang
lingkup hukum perdagangan.
c.
Putusan arbitrase internasional dapat
dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Dengan
demikian, suatu Putusan arbitrase terhadap para pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur,
seperti berikut.
a.
Surat atau dokumen yang diajukan dalam
pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan diketahui palsu atau dinyatakan palsu.
b.
Setelah putusan diambil ditemukan dokumen
yang bersifat menentukan dan yang disembunyikan oleh pihak lawan.
c.
Putusan diambil dari hasil tipu muslihat
yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Dengan
demikian, permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara
tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari pernyataan dan
pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri di mana
permohonan tersebut diajukan kepada ketua pengadilan negeri.
Terhadap
putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung
yang memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung
mempertimbangkanserta memutuskan permohonan banding dalam waktu paling lama 30
hari setelah permohonan banding tersebt diterima oleh Mahkamah Agung.
12.2.5 Peradilan.
Dalam
menegakkan hukum, hakim melaksanakan hukum yang berlaku dengan dukungan rasa
keadilan yang ada padanya berdasarkan hukum yang berlaku, meliputi yang
tertulis dan tidak tertulis. Oleh karena itu, disebutkan bawa hakim atau pengadilan
adalah penegak hukum.
Sementara
itu, berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, penyelenggara
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berbeda di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh mahkamah konstitusi.
12.2.6 Peradilan Umum
Dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yang dimaksud dengan peradilan umum adalah
salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang pada umumnya
mengenai perkara perdata dan pidana.
Dengan
demikian, kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh
pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung.
1. Pengadilan Negeri
Pengadilan
negeri adalah pengadilan tingkat pertaman yang berkedudukan di kotamadya atau
ibukota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau
kabupaten, yang dibentuk dengan keputusan presiden.
2. Pengadilan Tinggi
Pengadilan
tinggi adalah pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota propinsi
dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi yang dibentuk dengan
Undang-Undang.
Sementara
itu, pengadilan tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan
perkara perdata ditingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan yang
mengadili antar pengadilan negeri didaerah hukumnya
3. Mahkamah Agung
Ketentuan
mengenahi Mahkamah Agung diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1985,
merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang
dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintahan dan
pengaruh-pengaruh lain, yang berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
Mahkamah
Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus
a.
Permohonan kasasi,
b.
Sengketa tentang kewenangan mengadili,
c.
Permohonan peninjauan kembali putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Mahkamah
Agung memutuskan permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding
atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.
Dalam
tingkat kasasi Mahkamah Agung membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan, karena
a.
Tidak berwenang atau melampaui batas
wewenang,
b.
Salah menetapkan atau melanggar hukum yang
berlaku,
c.
Lalai memenuhi syarat-syarat yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Mahkamah
Agung memeriksa dan memutuskan permohonan peninjauan kembali pada tingkat
pertama dan terakhir atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam perundang-undangan.
SUMBER :
SUMBER :
1. Sarjita, Teknik dan Strategi Penyelesaian
Sengketa Pertanahan, (Yogyakarta : Tugujogja Pustaka, 2005), hal 8. http://repository.usu.ac.id/
2. Ali. Achmad Chomzah, Seri Hukum Pertanahan
III Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan
Tanah Instansi Pemerintah, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2003), hal 14. http://repository.usu.ac.id/
3. https://claudiapaskah.wordpress.com/2011/05/17/bab-12-penyelesaian-sengketa/ [ Di akses pada, 10 Mei 2018 ]
3. https://claudiapaskah.wordpress.com/2011/05/17/bab-12-penyelesaian-sengketa/ [ Di akses pada, 10 Mei 2018 ]
Komentar
Posting Komentar