SEJARAH
PEREKONOMIAN INDONESIA
TUGAS 2
Indonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi).
Indonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi).
Perdagangan di masa
kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme
politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya
di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat
dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan
kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis
produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang
“mampir”.
Penggunaan uang yang berupa
koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru
mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari
timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan
barter banyak berlangsung dalam sistem perdagangan Internasional. Karenanya,
tidak terjadi surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau
impor logam mulia.
Kejayaan suatu negeri dinilai
dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan.Hal itu
disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari
perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan
perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih
dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian
dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia,
bahkan hingga saat ini.
Seusai masa kerajaan-kerajaan
Islam, pembabakan perjalanan perekonomian Indonesia dapat dibagi dalam empat
masa, yaitu masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
SEBELUM
KEMERDEKAAN
Sebelum merdeka, Indonesia
mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara
yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda,Inggris, dan Jepang.
Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena keburu
diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350
tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk
menganalisa sejarah perekonomian Indonesia, rasanya perlu membagi masa
pendudukan Belanda menjadi beberapa periode, berdasarkan perubahan-perubahan
kebijakan yang mereka berlakukan di Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia
saat itu).
Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC)
Belanda yang saat itu menganut
paham Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di Hindia Belanda. Belanda
melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk
menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi
perusahaan imperialis lain seperti EIC (Inggris).
Untuk mempermudah aksinya di
Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi :
1. Hak mencetak uang
2. Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai
3. Hak menyatakan perang dan damai
4. Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
5. Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja
Hak-hak itu seakan melegalkan
keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak
berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC. Kenyataannya, sejak
tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan
pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran
yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu. VOC juga
belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk pribumi.
Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie
(kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak hasil bumi)
dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga menjaga agar
harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya pembatasan
jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan
hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan). Semua
aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi
oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.
tahun 1795, VOC bubar karena
dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda. Kegagalan itu
nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain disebabkan oleh :
a.Peperangan yang terus-menerus
dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar, terutama perang Diponegoro.
b.Penggunaan tentara sewaan
membutuhkan biaya besar.
c.Korupsi yang dilakukan pegawai
VOC sendiri.
d.Pembagian dividen kepada para
pemegang saham, walaupun kas defisit.
Pendudukan
Inggris (1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola
pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan
menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan
Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia
Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk pribumi akan memiliki uang
untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah
imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk
dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari
negara penjajah. Sesuai dengan teori-teori mazhab klasik yang saat itu sedang
berkembang di Eropa, antara lain :
a. Pendapat
Adam Smith bahwa tenaga kerja produktif adalah tenaga kerja yang menghasilkan
benda konkrit dan dapat dinilai pasar, sedang tenaga kerja tidak produktif
menghasilkan jasa dimana tidak menunjang pencapaian pertumbuhan ekonomi. Dalam
hal ini, Inggris menginginkan tanah jajahannya juga meningkat kemakmurannya,
agar bisa membeli produk-produk yang di Inggris dan India sudah surplus
(melebihi permintaan).
b. Pendapat
Adam Smith bahwa salah satu peranan ekspor adalah memperluas pasar bagi produk
yang dihasilkan (oleh Inggris) dan peranan penduduk dalam menyerap hasil
produksi.
c. The quantity
theory of money bahwa kenaikan maupun penurunan tingkat harga dipengaruhi oleh
jumlah uang yang beredar.
Akan tetapi, perubahan yang
cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami
kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang Cuma seumur jagung di Hindia Belanda.
Sebab-sebabnya antara lain :
a.Masyarakat Hindia Belanda
pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk menghitung luas
tanah yang kena pajak.
b.Pegawai pengukur tanah dari
Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
c.Kebijakan ini kurang didukung
raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tak mau mengakui suksesi jabatan
secara turun-temurun.
Cultuur
stelstel
Cultuurstelstel (sistem tanam
paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch.
Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di
pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain
kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa
sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan
bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah
penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di
Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
Sistem ini merupakan pengganti
sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat
pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual
hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang
sudah ditentukan oleh pemerintah. Cultuurstelstel melibatkan para bangsawan
dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan politik
Mataram–yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak
mendapat imbalan–dan memotivasi para pejabat Belanda dengan cultuurprocenten
(imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang masuk gudang).
Bagi masyarakat pribumi, sudah
tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan
kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai
mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan
tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu
meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa
masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke
Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi
lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan
kegiatan ekonomi nonagraris.
Jelasnya, dengan menerapkan
cultuurstelstel, pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah dari mazhab
klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun
disini, pemerintah Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu
mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian lama kian besar. Biaya yang
kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih (Karl
Marx), bahwa nilai leih ini meningkatkan kesejahteraan Belanda sebagai
kapitalis.
Sistem
Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)
Adanya desakan dari kaum
Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang
lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan
ekonominya. Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang baru, yang antara lain
mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan
aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal ini
nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain
terlihat pada :
a.Keberadaan pemerintah Hindia
Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta
sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap
tanah.
b.Prinsip keuntungan absolut :
Bila di suatu tempat harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja yang
dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan mendorong mengalirnya
faktor produksi ke tempat tersebut.
c.Laissez faire laissez passer,
perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas, pemerintah Belanda
masih memegang peran yang besar sebagai penjajah yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan,
terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.
Pendudukan
Jepang (1942-1945)
Pemerintah militer Jepang
menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju
pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan
besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot
tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan
untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat
tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi
kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor.
Seperti ini lah sistem sosialis
ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai
kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang
Pasifik.
ORDE
LAMA
Masa
Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada
masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
Inflasi yang sangat tinggi,
disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali.
Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang
yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang
pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada
tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East
Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang
dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang
kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang
Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar
mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Adanya blokade ekonomi oleh
Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri
RI, Kas negara kosong, Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan
untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
·
Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh
menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan
Juli 1946.
·
Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke
India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade
Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
·
Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan
untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah
ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah
sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
·
Pembentukan Planning Board (Badan Perancang
Ekonomi) 19 Januari 1947
·
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang
(Rera) 1948 >>mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang
produktif.
·
Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha
swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan
swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab Fisiokrat :
sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Masa
Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun
sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan
pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire
laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing
dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini
hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi,
antara lain :
Ø Gunting
Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
Ø Program
Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan
mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing
dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya
pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan
pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional.
Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif
dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
Ø Nasionalisasi
De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th
1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
Ø Sistem
ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan
pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan
pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena
pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
Ø Pembatalan
sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya. sedangkan
pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan
tersebut.
Masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit
presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan
struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur
oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran
bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme).
Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini
belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
a) Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan
nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang
kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi
25.000 dibekukan.
b) Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai
tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya
justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada
1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c) Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan
uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai
1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya
dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan
angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam
berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat
pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang
dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia
dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi dari
pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa
Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun
bidang-bidang lain.
ORDE BARU
Pada awal orde baru,
stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program
pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan
negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak
dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per tahun.
Setelah melihat pengalaman masa
lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah
bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki
keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi
demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang
campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam
kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan
sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini
adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai
berkiblat pada teori-teori Keynesian.
Kebijakan ekonominya diarahkan
pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan :
kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan
kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran
pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum
pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang
disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).
Hasilnya, pada tahun 1984
Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan
indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan
penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat.
Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah
kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah.
Namun dampak negatifnya adalah
kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam,
perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok
dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta penumpukan utang luar negeri.
Disamping itu, pembangunan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat
korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan
ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil.
Sehingga meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi secara
fundamental pembangunan nasional sangat rapuh. Akibatnya, ketika terjadi krisis
yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang
paling buruk. Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah
dengan cepat, dan menimbulkan berbagai kekacauan di segala bidang, terutama
ekonomi.
ORDE REFORMASI
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa
reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang
ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas
politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman
Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara
dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde
baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),
pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs
rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan
kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh
presiden Megawati.
Masa
kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak
untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi
antara lain :
a) Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar
pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri
sebesar Rp 116.3 triliun.
b) Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual
perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan
negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara.
Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi
4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang
diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan
berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan
konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak
investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu
jalannya pembangunan nasional.
Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama
presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain
menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak
dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan,
serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama
itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai
(BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang
berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Kebijakan yang ditempuh untuk
meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur
massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan
janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian
Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para
investor dengan kepala-kepala daerah.
Pada pertengahan bulan Oktober
2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar
AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF
dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada
luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi
antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat
dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret
2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran
kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka
menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada
turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga
menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena
inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya
mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negri
masih kurang kondusif.
Masa
Kepemimpinan JOKO WIDODO
Masyarakat Indonesia telah
menilai kondisi perekonomian di satu tahun era pemerintahan Joko Widodo dan
Jusuf Kalla semakin memburuk. Hal ini berkaitan dengan isu-isu utama lainnya
yaitu kondisi politik nasional, penagakan hukum, keamanan nasional dan pemberantasan
korupsi yang sangat buruk. Kondisi ekonomi Indonesia sekarang bagi sebagian
besar masyarakat dinilai buruk dengan 46,11% disbanding tahun sebelumnya.
Penilaian ini juga tidak lepas dari masyarakat Indonesia yang semakin hari
banyak sekali pengangguraan dan mahalnya harga kebutuhan pokok yang semakin
hari semakin meningkat tajam. Selain itu, masyarakat juga menilai Jokowi – JK
tidak serius dalam mengatasi pelemahan rupiah terhadap dolar yang akhirnya bias
tembus mencapai diatas RP 14.000/USD. Pemerintahan menargetkan bagi pertumbuhan
ekonomi Indonesia yaitu sebesar 5,5% tetapi yang terjadi tidaklah sama
melainkan Indonesia memiliki pertumbuhan yang sangat lemah.
Untuk memulihkan perekonomian Indonesia Jokowi
telah melakukaan beberapa gebrakan sensitive seperti, memotong subsidi BBM
sebesar 30% dan menghemat anggaran Negara sampai Rp 100 Triliun untuk tahun
depan. Jokowi juaga mengganti beberapa pejabat penting yang sangat membantu
perekonomian, seperti Amien Sunaryadi dan Faisal Basri yang akan mengawasi
pengelolaan minyak dan gas.seperti yang diketahui oleh masyarakat Indonesia
bahwa mereka berdua adalah pengamat dan aktivis anti korupsi. Tidak hanya 2
pejabat yang diganti oleh Jokowi tetapi banyak sekali. Semenjak menganti
pejabat – pejabat penting perekonomian Indonesia mulai membaik tetapi
pemberantasan korupsi tidak terlalu membaik malah makin memburuk.
SUMBER :
Anggota
Kelompok 12 :
·
Fitria Syavira Harani
·
Mega Mayasari
Komentar
Posting Komentar