Langsung ke konten utama

Keberadaan PT.Freeport di Indonesia

KEBERADAAN PT.FREEPORT DI INDONESIA


Tulisan

Latar Belakang

       Tanah Papua sangat kaya Tembaga dan Emas merupakan sumber daya alam yang sangat berlimpah yang terdapat di Papua. Papua terkenal dengan produksi emasnya yang terbesar di dunia dan berbagai tambang dan kekayaan alam yang begitu berlimpah. Keadaan inilah yang menjadikan Papua sebagai tempat aktivitas perusahaan tambang, yang bertujuan untuk mengambil sumber daya alamnya.
Sedangkan, PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoran Copper & Gold Inc., perusahaan ini adalah pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Estberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Pupua.
Seiring dengan berjalannya aktivitas pertambangan banyak sekali terjadi peristiwa yang dinilai tidak banyak membawa manfaat bagi rakyat Indonesia umumnya dan rakyat Papua khususnya. Banyak lembaga swadaya masyarakat yang bekerja, meneliti kejadian yang sesungguhnya tentang PT Freeport di Papua. Dan banyak pula laporan yang berisikan kejahatan PT Freeport.
Lahan ribuan hektar itu adalah Grasberg. Orang Amungme di Timika menyebutnya, Gunung Tenogome. Lahan ini sekitar 40 tahun lalu menjadi sangat berarti untuk penambangan tembaga yang bernilai triliunan rupiah dikemudian hari. Tambang itu berawal dari sebuah lokasi yang sangat kecil. Inilah inspirasi terbesar setelah demam emas di Sungai Laloki. Sekitar 10 mil dari Port Moresby di Papua New Guinea (PNG) pada 1878. Laloki telah menjadi magnet bagi tim ekspedisi dunia untuk mencari sumber emas lain. Akhirnya mereka mendapatinya di Papua. Inspirasi ini juga yang membuat pemerintah Belanda pertama kali memberikan ijin ekspedisi pada Forbes Wilson dan  Mozes Kilangin Tenbak untuk mengambil batu-batuan di Ertsberg. Batuan yang ternyata telah mengantar Amerika menghasilkan triliunan rupiah pertahun dan menghilangkan nilai yang sama untuk pemerintah Indonesia. Dalam operasinya, Freeport bisa memperoleh keuntungan bersih mencapai Rp 1,27 triliun. Setahun setelahnya, 2003, nilainya bahkan naik hingga Rp 1,62 triliun. Lonjakan itu bertambah pada 2004 menjadi Rp 9,34 triliun.

1.2 Tujuan

       Agar para pembaca mengetahui apa saja asal mulanya dan insiden terakhir kasus PT.Freeport di Timika yang sedang maraknya diberitakan dimasyarakat indonesia. Sebab,kasus ini hingga sekarang masih belum terselesaikan.Bahkan pemerintah Indonesia menyimpan permasalahan ini hingga bertumpuk-tumpuk yang seakan-akan pemerintah seperti menutup mata dengan kasus ini.





BAB II

Pembahasan

2.1 Awal mulanya kasus PT. Freeport

        PT Freeport Inonesia, Bukan Sekedar Masalah Renegosiasi Tapi Menegakkan Kedaulatan RI
Sudah 44 tahun aktivitas pertambangan emas PT Freeport-McMoran Indonesia (Freeport) bercokol di tanah Papua. Namun selama itu pula kedaulatan negara ini terus diinjak-injak oleh perusahan asing tersebut. Pada Kontrak Karya (KK) pertama pertambangan antara pemerintah Indonesia dan Freeport yang dilakukan tahun 1967 memang posisi tawar pemerintah RI masih kecil, yaitu hanya sekedar pemilik lahan. Dibandingkan PT Freeport yang memiliki tenaga kerja dan modal tentu posisi tawar pemerintah saat itu masih kecil. Namun setelah 44 tahun apakah posisi tawar pemerintah Indonesia masih rendah? Tentu tidak! Mengacu pada UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara yang mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk melakukuan renegosiasi kontrak seluruh perusahaan tambang asing yang ada di negeri ini. UU ini menggantikan UU Nomor 11 tahun 1967 yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan pasca penandatanganan KK. Berdasarkan data Kementrian ESDM, sebanyak 65 persen perusahaan tambang sudah berprinsip setuju membahas ulang kontrak yang sudah disetujui. Akan tetapi sebanyak 35 persen dari total perusahaan tersebut masih dalam tahap renegosiasi, salah satunya adalah pengelola tambang emas terbesar di dunia yaitu Freeport.
Menurut Direktur dan CEO Freeport Indonesia, Armando Mahler, menyatakan bahwa kontrak pertambangan yang dimiliki perusahaan dengan pemerintah Indoneisa sudah cukup adil bagi semua pihak. Hal ini mengindikasikan bahwa pihak Freeport enggan untuk patuh kepada UU yang berlaku, yaitu UU no. 4 tahun 2009 tentang Minerba. Dari sini terlihat bahwa kasus Freeport ini tidak hanya merugikan negara triliunan rupiah akan tetapi juga menginjak-injak kedaulatan Republik ini dengan tidak mau patuh terhadap UU yang berlaku. Menurut seorang pengamat Hankam, Bapak Soeripto, Konflik yang mendasasari kasus Freeport ini adalah Kontrak Karya (KK) yang telah melecehkan Indonesia.
Salah seorang pengamat Hankam yang sudah senior, Bapak Soeripto, menyatakan bahwa PT Freeport telah memberikan sejumlah dana kepada aparat keamanan TNI/POLRI dalam rangka menjaga keamanan Freeport di atas tanah Papua. Hal ini jelas menentang UU karena menurut UU pembiayaan aparat keamanan untuk perlidungan objek vital nasional harus bersumber dari APBN bukan dari perusahaan asing. Akibatnya banyak putra daerah Papua yang merasa asing di rumah mereka sendiri. Dari sini terkesan bahwa aparat keamanan justru lebih membela kepentingan asing dari pada kepentingan bangsanya sendiri. Padahal mereka  harusnya menindak Freeport yang notabene telah merusak lingkungan dengan membuat lubang tambang di Grasberg dengan diameter lubang 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman mencapai 800 m2 . Dampak lingkungan yang Freeport berikan sangat signifikan, yaitu rusaknya bentang alam pegunngan Grasberg dan Ersbeg. Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km2 di daerah aliran sungai Ajkwa.
PT Freeport McMoran Indonensia pun telah berlaku semena-mena kepada karyawan Freeport Indonesia yang kebanyakan adalah orang asli Indonesia. Menurut pengakuan Bapak Tri Puspita selaku Sekretaris Hubungan Industri Serikat Pekerja Freeport Indonesia, Freeport bersifat eksklusif sehingga akses untuk ke rumah sakit ataupun mess pun juga sulit. Lebih jauh lagi, standart yang dimiliki pekerja Freeport dari Indonesia sama dengan seluruh karyawan Freeport yang ada di seluruh dunia akan tetapi gaji yang diterima oleh pekerja dari Indonesia hanya separuhnya. Menariknya lagi, menurut laporan dari Investor Daily tanggal 10 Agustus 2009, dikatakan bahwa pendapatan utama PT Freeport McMoran adalah dari operasi tambabangnya yang ada di Indonesia, yaitu sekitar 60%. Sampai saat ini karyawan Freeport tengah menjalankan aksi mogok kerja dengan menuntut kenaikan gaji US$ 4 per jam. Sampai sekarang pihak management Freeport tidak menyetujui tuntutan pekerja Indonesia tersebut. Bukan keadilan yang didapatkan pekerja Freeport dari Indonesia yang menuntut kenaikan gaji akan tetapi tudingan sebagai kelompok separatis lah yang mereka dapat. Padahal mereka hanya menuntut hak-haknya sebagai warga negara untuk memperoleh kesejahteraan.
Menurut seorang pakar ekonomi dari Universitas Padjajaran sekaligus aktivis LSM Econit, Ibu Hendri, setidaknya ada tiga alasan mengapa solusi Freeport ini bukan sekedar negosiasi. Pertama, Yaitu meluruskan aturan perundang-undangan yang menyimpangkan amanah konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). Kedua, Renegoisasi atau perubahan Kontrak Karya (KK) yang tidak memakai dasar konstitusi tidak akan memberikan manfaat bagi kepentingan rakyat Indonesia. Dan yang terakhir, rakyat Papua secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum membutuhkan dana yang besar untuk mengejar ketertinggalan dalam membangun fasilitas yang diperlukan untuk mendukung pelayanan sosial dan kemajuan ekonomi.
Indonesia sebagai bangsa yang besar, harusnya tidak hanya mengejar keuntungan finansial seperti pajak, deviden ataupun pembagian royalti dari sektor pertambangan akan tetapi juga harus fokus pada keuntungan ekonomi, ungkap Ibu Hendri. Pemerintah harus mempunyai visi besar dalam mengelola SDA yang dimiliki. Dalam hal ini, pemerintah harus mempunyai koridor kebijakan yang jelas mengenai bagaimana pemanfaatan segala sumber daya alam yang dimiliki untuk kemajuan ekonomi bangsa Indonesia. Sebagai contohnya, pemerintah China tidak serta merta segera mengekspor kandungan batu bara yang dimiliki secara besar-besaram ke pasar dunia akan tetapi China menahan produk batu baranya dalam negeri untuk kepentingan dalam negeri sendiri tersebut untuk mendorong kemajuan ekonomi negeri tersebut, dalam hal ini sumber energi.
Pak Soeripto yang juga selaku mantan anggota Badan Intelejen Negara (BIN) mengemukakan analisis yang menarik, menurut beliau, pasca Perang Dingin, selayaknya bangsa Indonesia sadar bahwa trend perang dalam masa sekarang adalah perang untuk memperebutkan sumber daya alam atau resource war. Sekarang negara-negara besar sedang berperang untuk merebutkan sumber daya alam. Dan ini sudah terjadi di berbagai negara seperti Iraq, Afganistan, Kongo, Libya, dll. Urusan perebutan masalah sumber daya alam ini sejatinya tidak memperdulikan berapa korban jiwa yang jatuh. Begitu juga masalah Freeport, kita tahu sendiri akhir-akhir ini masih sering terjadi aksi penembakan di Papua yang menelan korban baik kalangan aparat keamanan ataupun putra daerah Papua sendiri.
Sudah selayaknya kita memandang kasus Freeport ini selain dengan pemahaman yang mendalam juga dengan kacamata perspektif yang berbeda. Sehingga kita dapat melihat masalah ini secara komprehensif. Harus kita ingat bahwa masalah ini bukan sekedar penandatangan kontrak  kerja baru, hitam di atas putih. Melainkan masalah yang lebih krusial lagi, yaitu penegakkan kedaulatan Republik Indonesia.
Awalnya dari ekspedisi itu,  sebelum diketahui oleh pemerintah Indonesia jika nantinya akan disia-siakan, bersama Freeport Internasional, pemerintah meneken negosiasi yang menakjubkan. Namanya Kontrak Karya Pertama. Tahun 1967. Diluar dugaan, orang Papua menganggapnya aneh karena status wilayah masih belum jelas. Yang mencengangkan kemudian adalah, sebelum Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dilaksanakan pada 1969 atau dua tahun sebelum Free of Choice, kontrak telah diteken.
Lewat Orde Baru, pemerintah selanjutnya mengeluarkan UU No:1/1967 tentang Penanaman Modal Asing pada Januari 1967. Undang-Undang ini untuk merespon keinginan pembukaan tambang baru. Maret 1967, PT. Freeport Indonesia Incorporate (FII), perusahaan yang dibentuk Freeport Internasional, diwakili Forbes Wilson akhirnya menandatangani Kontrak Karya Pertama. Usaha penambangannya di wilayah Pegunungan Selatan Jayawijaya, di Gunung Erstberg. Dalam bahasa Amungme disebut Yelsegel Ongopsegel. Penandatanganan untuk operasi tambang selama 30 tahun itu kini telah menghasilkan lubang raksasa di Erstberg yang diberi nama “Danau Wilson.” Nama ini diberikan sebagai penghormatan kepada Forbes Wilson. “Sejak awal, negara memang sudah tidak mengakui adanya masyarakat adat,” tegas Jerry, peserta dari Nabire dalam Seminar bertema, Satu Tanah; Satu Kultur dan Satu Hati di Hotel Sentani Indah belum lama ini.
Baginya, sangat luar biasa pemerintah saat itu langsung membuat kontrak karya. Padahal bagi suku-suku dipedalaman Papua, untuk memperoleh lahan yang  luas, tak segampang yang dikira. Perlu pertumpahan darah untuk mendapat sejengkal tanah. Tanah bagi mereka ibarat ibu yang menjaga dan memelihara. Bagi mereka tanah tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga bermakna religius. Mereka mempergunakan tanah untuk mendukung segala aktifitas dan menjalankan kehidupan sehari-hari.
Tapi ini berbeda. Sampai disini, masyarakat juga tak dapat berbuat banyak. Mereka bahkan berpartisipasi dalam menunjang ekspedisi pembukaan Freeport. Masyarakat setempat terlibat mulai dari persiapan di Kokonao hingga pembukaan pemukiman baru di Akimuga. Pada proses pembukaan lahan ini, Tokoh Amungme,Mendiang Guru Mozes Kilangin Tenbak menceritakannya, “kitorang berjalan dari gunung ke gunung untuk membuka jalan untuk Freeport masuk. Kini semua sudah terbuka lebar semua orang datang ke Timika”.
Seseorang yang kemudian menyesali masuknya Freeport adalah tokoh Amungme, almarhum Tuarek Narkime. “Saya selalu bertanya kepada Tuhan, mengapa Tuhan menciptakan gunung-gunung batu dan salju yang indah itu di daerah Suku Amungme? Apakah karena gunung-gunung yang kaya dengan sumber daya mineral itu, Freeport, ABRI, Pemerintah, dan orang luar untuk datang ke sini dan mengambilnya demi kepentingan mereka dan membiarkan kami menderita?”. “Apakah karena itu, kami orang Amungme harus terus menerus ditekan, ditangkap, dan dibunuh tanpa alasan? Jika alasan itu yang kami maksudkan lebih baik musnahkan kami, enyahkan kami agar kalian bisa mengambil dan menguasai semua yang kami miliki”. Kalimat itu masih terngiang hingga kini. Tuarek Narkime, 1994, juga mengatakan, “Sungguh, saya benar-benar marah kepada Tuhan. Mengapa Dia harus menempatkan segala gunung-gunung yang indah dan barang tambang itu di sini”. Pergumulan Narkime tanpa disadari kemudian membawa perubahan besar. Warga Amungme pun marah. Kekecewaan itu berakhir diatas sebuah perjanjian pada Januari 1974. Hasilnya, mereka mendapat dana satu persen. Freeport juga membentuk Lembaga Masyarakat Amungme dan Kamoro terutama untuk pengelolaan dana tersebut yang bagi masyarakat setempat disebut uang darah. Namun kekecewaan belum berakhir. Persoalan kemudian berlanjut dengan selalu muncul perang antara suku di Timika. Penembakan, kekerasan, pembunuhan dan pemerkosaan juga menjadi warna baru setelah itu.
Keberadaan Freeport sejak kontrak karya ke-satu ilegal dalam transparansi dan ketetapan pajak bagi negara. Hasil Freeport baru diketahui secara resmi dan diatur dalam Undang-undang negara Indonesia sejak kontrak karya ke-2. Nah, Kontrak karya pertama Freeport tahun 1967 sesungguhnya fiktif.
Indonesia sudah rugi sejak Freeport masuk. Sekarang pun tetap rugi karena konstitusi Negara mendukung emas dibawa ke Amerika dan negara Lainya di dunia. Pemerintah sibuk dengan kasus-kasu keamanan perusahaan di Papua, sedangkan ekonomi bangsa terabaikan. Nah, diawah ini adalah gambaran apa saja tentang Freeport yang sudah berlalu.
Agar bangsa ini dapat merefleksikan bagaimana solusi terbaik bagi Papua dan tentunya martabat bangsa Indonesia di ukur sejak penanganan kasus semacam Freeport diPapua. Dengan cadangan 25 milyar pon tembaga, 40 juta ons emas dan 70 juta ons perak, nilainya sekitar 40 milyar dollar AS berdasarkan harga berlaku. Freeport diberikan jaminan untuk bekerja di lokasi pertambangan untuk bertahun-tahun. Jika menemukan tambahan kekayaan mineral di atas 4,1 juta hektar di tanah sekitarnya akan menjadi hak eksklusif Freeport.
Indonesia menjawab Tuntutan Rakyat Papua terkait keberadaan PT. Freeport Indonesia. Catatan singkat dampak Sosial (konflik ) yang timbul sejak kehadiran PT. Freeport di Tanah Papua. Posisi Negara dalam mengatasi Freeport, suatu masalah sekarang. Berikut adalah aspek konflik dan penanganan Negara diawali dari tahun 2009 hingga 2006.
Negara (Pemerintah) dalam kasus PT. Freeport yang sudah terjadi, belum ada niat baik untuk menyambut tuntutan rakyat Papua, terutama soal Freeport. Sikap rakyat Papua meminta penyelesaian Freeport, selalu saja di jawab dengan bedil senjata, konflik perang suku, mobilisasi aparat militer di areal Freeport bahkan membanjirnya dana-dana taktis Negara lebih pada pengutamaan pengamanan asset perusahaan ketimbang Negara memberi ruang kedaulatan kepada warga Negara sendiri.

Sejarah PT. Freeport Indonesia (PTFI atau Freeport)

PT. Freeport Indonesia (PTFI atau Freeport) adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Perusahaan ini merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (dari 1967 hingga 1988) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Freeport-McMoRan berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan US$ 6,555 miliar pada tahun 2007. Mining Internasional, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia.
Freeport mulai banyak menarik perhatian masyarakat setelah terungkapnya berbagai  permasalahan dan insiden yang terjadi di wilayah konsesi pertambangan perusahaan tersebut. Berbagai pendapat, baik dari media, lembaga swadaya masyarakat, serta akademisi menyoroti masalah yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan, adaptasi sosio-kultural, keterlibatan TNI, bahkan hal-hal yang berkaitan dengan politik separatis dari kelompok penduduk asli. Namun, dalam pembahasan ini permasalahan yang akan diulas adalah yang berkaitan dengan tidak optimalnya pengelolaan potensi ekonomi sumberdaya mineral di wilayah pertambangan tersebut bagi penerimaan negara.
Dalam tulisan berikut akan diuraikan mengenai potensi tembaga dan emas yang tersimpan di Grasberg dan Erstberg, serta pengelolaan pertambangan Freeport yang tidak optimal bagi pemerintah Indonesia. Akibatnya, manfaat ekonomi yang diperoleh pemerintah Indonesia tidak maksimal. Bahkan, dapat dikatakan Indonesia mengalami kerugian negara yang sangat besar karena tidak optimal, tidak adil, tidak transparan dan bermasalahnya pengelolaan sumberdaya mineral itu.

Kontrak Karya yang Merugikan dari Generasi ke Generasi

Freeport memperoleh kesempatan untuk mendulang mineral di Papua melalui tambang Ertsberg sesuai Kontrak Karya Generasi I (KK I) yang ditandatangani pada tahun 1967. Freeport adalah perusahaan asing pertama yang mendapat manfaat dari KK I. Dalam perjalanannya, Freeport telah berkembang menjadi salah satu raksasa dalam industri pertambangan dunia, dari perusahaan yang relatif kecil. Hal ini sebagian besar berasal dari keuntungan yang spektakuler sekaligus bermasalah yang diperoleh dari operasi pertambangan tembaga, emas, dan perak di Irian Jaya, Papua.
KK I dengan Freeport ini terbilang sangat longgar, karena hampir sebagian besar materi kontrak tersebut merupakan usulan yang diajukan oleh Freeport selama proses negosiasi, artinya lebih banyak disusun untuk kepentingan Freeport. Dalam operasi pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang proposional dengan potensi ekonomi yang sangat besar di wilayah pertambangan tersebut. Padahal bargaining position pemerintah Indonesia terhadap Freeport sangatlah tinggi, karena cadangan mineral tambang yang dimiliki Indonesia di wilayah pertambangan Papua sangat besar bahkan terbesar di dunia. Selain itu, permintaan akan barang tambang tembaga, emas dan perak di pasar dunia relatif terus meningkat. Dengan kondisi cadangan yang besar, Freepot memiliki jaminan atas future earning. Apalagi, bila ditambah dengan kenyataan bahwa biaya produksi yang harus dikeluarkan relatif rendah karena karakteristik tambang yang open pit. Demikian pula emas yang semula hanya merupakan by-product, dibanding tembaga, telah berubah menjadi salah satu hasil utama pertambangan.
Freeport sudah sejak lama berminat memperoleh konsesi penambangan tembaga di Irian Jaya. KK I Freeport disusun berdasarkan UU No 1/67 tentang Pertambangan dan UU No. 11/67 tentang PMA. KK antara pemerintah Indonesia dengan Freeport Sulphur Company ini memberikan hak kepada Freeport Sulphur Company melalui anak perusahaannya (subsidary) Freeport Indonesia Incorporated (Freeport), untuk bertindak sebagai kontraktor tunggal dalam eksplorasi, ekploitasi, dan pemasaran tembaga Irian Jaya. Lahan ekplorasi mencangkup areal seluas 10.908 hektar selama 30 tahun, terhitung sejak kegiatan komersial pertama. KK I mengandung banyak sekali kelemahan mendasar dan sangat menguntungkan bagi Freeport. Kelemahan- tersebut utamanya adalah sebagai berikut:
(1) Perusahaan yang digunakan adalah Freeport Indonesia Incorporated, yakni sebuah perusahaan yang terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, dan tunduk pada hukum Amerika Serikat. Dengan lain perkataan, perusahaan ini merupakan perusahaan asing, dan tidak tunduk pada hukum Indonesia.
(2) Dalam kontrak tidak ada kewajiban mengenai lingkungan hidup, karena pada waktu penandatanganan KK pada tahun 1967 di Indonesia belum ada UU tentang Lingkungan Hidup. Sebagai contoh, akibat belum adanya ketentuan tentang lingkungan hidup ini, sejak dari awal Freeport telah membuang tailing ke Sungai Aikwa sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.
(3) Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan yang berlaku, baik jenis pajak maupun strukturnya. Demikian juga dengan pengaturan dan tarif depresiasi yang diberlakukan. Misalnya Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN.
(4) Tidak sesuainya struktur pajak maupun tarif pajak yang diberlakukan dalam KK I dirasakan sebagai pelanggaran terhadap keadilan, baik terhadap perusahaan lain, maupun terhadap Daerah. Freeport pada waktu itu tidak wajib membayar selain PBB juga, land rent, bea balik nama kendaraan, dan lain-lain pajak yang menjadi pemasukan bagi Daerah.
(5) Tidak ada kewajiban bagi Freeport untuk melakukan community development. Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak memberi dampak positif secara langsung terhadap masyarakat setempat. Pada waktu itu, pertambangan tembaga di Pulau Bougenville harus dihentikan operasinya karena gejolak sosial.
(6) Freeport diberikan kebebasan dalam pengaturan manajemen dan operasi, serta kebebasan dalam transaksi dalam devisa asing. Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal, antara lain: tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%. Freeport juga dibebaskan dari segala jenis pajak lainnya dan dari pembayaran royalti atas penjualan tembaga dan emas kecuali pajak penjualannya hanya 5%.
Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport, hingga Kontrak Karya I diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak direnegosiasi secara optimal. Indonesia ternyata tidak mendapatkan manfaat sebanding dengan keuntungan besar yang diraih Freeport. Ketentuan-ketentuan fiskal dan finansial yang dikenakan kepada Freeport ternyata jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan yang berlaku negara-negara Asia dan Amerika Latin.
Perpanjangan Kontrak Karya II seharusnya memberi manfaat yang lebih besar, karena ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg. Kontrak telah diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997. Pada kenyataannya ini adalah kehendak dari orang-orang Amerika di Freeport, dan merupakan indikasi adanya kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam proses negosiasi untuk mendapat keuntungan pribadi dari pertambangan di bumi Irian Jaya itu.
Kontrak Karya II tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan keuntungan finansial tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia. Perubahan yang terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham dan dalam hal perpajakan. Sementara itu, besarnya royalti tidak mengalami perubahan sama sekali, meskipun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas. Penemuan emas di Grasberg merupakan cadangan emas terbesar di dunia.
Dalam Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut royalti atau iuran eksploitasi/produksi (pasal 13), menjelaskan bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas prosentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari prosentase penjualan bersih. Penjualan bersih adalah penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya peleburan (smelting), biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan Freeport dalam penjualan konsentrat. Prosentase royalti (yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih juga tergolong sangat kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia (emas dan perak). Di dalam kontrak Freeport, besaran iuran tetap untuk wilayah pertambangan yang dibayarkan berkisar antara US$ 0,025-0,05 per hektar per tahun untuk kegiatan Penyelidikan Umum (General Survey), US$ 0,1-0,35 per hektar per tahun untuk kegiatan Studi Kelayakan dan Konstruksi, dan US$ 1,5-3 per hektar per tahun untuk kegiatan operasi eksplotasi/produksi. Tarif iuran tersebut, di seluruh tahapan kegiatan, dapat dikatakan sangat kecil, bahkan sangat sulit diterima akal sehat. Dengan kurs 1 US$ = Rp 9.000 maka besar iuran Rp 225 hingga Rp 27.000 per hektar per tahun.
Sedangkan menyangkut pengawasan atas kandungan mineral yang dihasilkan, dalam kontrak Freeport tidak ada satu pun yang menyebut secara eksplisit bahwa seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan peleburan harus seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam pengawasan Pemerintah Indonesia. Pasal 10 poin 4 dan 5 memang mengatur tentang operasi dan fasilitas peleburan dan pemurnian tersebut yang secara implisit ditekankan perlunya untuk dilakukan di wilayah Indonesia, tapi tidak secara tegas dan eksplisit bahwa hal tersebut seluruhnya (100%) harus dilakukan atau berada di Indonesia. Hingga saat ini, hanya 29% saja dari produksi konsentrat yang dimurnikan dan diolah di dalam negeri. Sisanya (71%) dikirim ke luar negeri, di luar pengawasan langsung dari pemerintah Indonesia.
Di dalam Kontrak Freeport, tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indoensia dapat sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport. Pun jika Freeport dinilai melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak. Sebaliknya, pihak Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.
Pemasukan 37 Trilyun dari 1992-2006
Sejak tahun 1992-2006 total pemasukan Freeport kepada negara Indonesia adalah 37 Trilyun, dari hasil pembayaran Pajak Negara dan daerah. Sedangkan keuntungan Freeport adalah menyuplai 40 ribu ton Emas ke Amerika selama beroperasi.
Pada 1995, ada empat proyek infrastruktur yang mulai dibangun oleh Freeport di Papua Barat, yakni :
1. Pengembangan pelabuhan Amamapare, dari mana konsentrat emas dan tembaga diekspor atau nantinya diantarpulaukan.
Proyek senilai US$ 100 juta ditangani PT ALatief P & O Port Development Company (APPDC), perusahaan kongsi antara ALatief Nusakarya Corporation dengan maskapai angkutan laut P & O Australia Ltd. Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak pada pertengahan Mei 1995, perusahan itu mendapat hak kelola pelabuhan Amamapare selama 10 tahun dan bisa diperpanjang.
2. Pembangunan sebuah kota baru
Proyek senilai US$ 250 juta, langsung ditangani AFIC. Kota baru yang diresmikan Soeharto pada awal Desember 1995 dengan nama Kuala Kencana itu berdiri pada ketinggian 4.200 meter di atas permukaan laut, seluas 17.400 hektar. Demi, kenyamanan para kapitalis, birokrat, serta kapitalis-birokrat, kota itu dilengkapi lapangan golf kelas turnamen yang dirancang pegolf AS, Ben Crenshaw.
Freeport memindahkan perkantorannya dari Tembagapura yang diresmikan Soeharto 23 tahun sebelumnya yang hanya dibangun untuk kapasitas penduduk 1.200 jiwa ke Kuala Kencana. Sedangkan Kuala Kencana sendiri dibangun dengan kapasitas 25.000 jiwa, sangat luas untuk menampung karyawan Freeport yang sudah mencapai 12.000 jiwa.
3. Pembangunan sarana pembangkit tenaga listrik bagi tambang emas dan tembaga yang baru, Grasberg, alias Gunung Bijih Timur.
Proyek ini ditangani PT Puncakjaya Power Corporation, usaha patungan antara Freeport (30%), Power Link Corporation (30%), Duke Energy dari AS (30%), dan PT Catur Yasa (10%).
4. Pembangunan bandara Timika
Proyek ini mulai dilaksanakan pada Juni 1995 ditangani PT Airfast Aviation Facilities Company (AVCO), yang 45% sahamnya dikuasai PT Airfast Indonesia, 30% oleh PT Giga Haksa yang merupakan anak perusahaan Catur Yasa, dan 25% oleh Freeport.
Seluruh proyek itu dikoordinasi oleh PT A Latief Freeport Infrastructure Corporation (AFIC), yang 67 persen sahamnya dikuasai oleh kelompok A. Latief dan 33 persen sisanya oleh Freeport
Proyek yang total investasinya mencapai US$50 juta (waktu itu diperhitungkan Rp 125 milyar), terdiri dari pembangunan kawasan bandara terpadu lengkap dengan segala sarana pendukungnya, serta pengadaan tiga pesawat Twin Otter, dua pesawat Boeing B 737-200, serta tujuh helikopter.


2.2 Insiden terakhir kasus PT. Freeport

            Insiden terakhir yang kemudian membuat sejumlah pihak mengecam Freeport adalah, tertembaknya  seorang warga Negara Australia di mile 53 Tembagapura oleh orang tak dikenal. Insiden ini menuai protes ke Freeport yang dikenal super ketat dalam pengamanannya. Sekretaris Dewan Adat Papua Leonard Imbiri juga merasa heran atas peristiwa tersebut. Dia bahkan menyesali komentar TNI yang telah menjustifikasi Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai pelaku sebelum ada pemeriksaan dan pembuktian valid. “Aneh penyidikan belum selesai sudah ada yang dituduh,” tutur Imbiri kepada Jubi belum lama ini.
Atas insiden tersebut, Gubernur Papua, Barnabas Suebu, menegaskan, jelas bukan dilakukan oleh masyarakat sipil. “Apalagi masyarakat disana sudah menerima dana satu persen dalam peningkatan sumber daya mereka,” tutur Suebu. Pernyataan Suebu belakangan diikuti sejumlah media di Papua dengan menterakan sumber orang tak dikenal dalam kasus tersebut. Akhirnya, sulit memang untuk menentukan kapan konflik akan berakhir di Timika. Jika saja Timika adalah Bandung, mungkin konflik tak akan terjadi. Sayangnya Timika adalah Freeport. Timika adalah emas dan perak. Dan Timika adalah gula. Disitu sangat jelas akan ada semut yang berkeliaran. Mulai dari jasa pengamanan hingga pengusaha kelas teri. Mulai dari penjual jamu hingga swalayan raksasa. Selayaknya Freeport yang diibaratkan gula meski dinikmati secara merata. Tujuannya untuk menghindari konflik yang suatu saat bisa akan kembali. Jelaslah seperti dikatakan, mantan Ketua Umum Forum Cendekia Muslimah Peduli ICMI Sulawesi Selatan, Sutina Made. “Dengan cara itu, sumber daya alam akan dimasukkan dalam kategori kepemilikan publik yang pengelolaannya diserahkan pada Negara dan hasilnya dikembalikan sebesar-besarnya kepada rakyat,” ujarnya.
Dia mengatakan, kini saatnya giliran intelektual Papua mengoptimalkan kemampuannya dalam menyelamatkan sumber daya alam Papua. Bisa lewat promosi strategi managemen sumber daya alam yang lebih baik, khususnya di areal tambang Freeport, agar bisa  membangun sinergi antara pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat. Jika tidak dilakukan dari sekarang, niscaya konflik akan terus berkembang. Masyarakat juga akan terus menanggung semua resikonya. Tidak hanya soal kekerasan dan pelanggaran HAM, tapi juga dampak lingkungan dari Freeport. “Para intelektual Indonesia khususnya cendekiawan Papua harus memberi solusi bagaimana sumber daya alam Papua dikelola secara adil,” katanya. Keadilan ini tidak saja untuk Freeport dan penguasa di Papua, tapi juga untuk 37,53 % keluarga Papua yang dihimpit kemiskinan. (Tim Jubi/DAM))
Rencana Pemerintahan Joko Widodo mengambil sedikit demi sedikit saham PT Freeport Indonesia mulai Oktober 2015 diperkirakan tidak akan mudah. Sebagai salah satu perusahaan milik Amerika Serikat yang mengelola tambang terbesar di dunia, dipastikan pemerintah Negeri Paman Sam tidak akan tinggal diam.
"Berbicara Freeport pasti berbicara kepentingan Amerika Serikat, dan tantangannya bagi Presiden Jokowi adalah bagaimana memperkuat dan mempertegas pengambilalihan tersebut. Intervensi ke Istana Negara pasti akan ada," ujar Ahmad Redi, pengamat hukum sumber daya alam Universitas Tarumanegara, usai menjadi pembicara diskusi di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (26/5).
Namun jika pemerintah bisa menegaskan niat dan sikapnya untuk menguasai seluruh saham Freeport secara bertahap, sampai kontrak karya habis pada 2021, Redi mengusulkan pengelolaan tambang Grasberg di Papua tersebut bisa diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pertambangan.
"Pemerintah bisa menugaskan BUMN tertentu atau membentuk konsorsium BUMN baru yang terdiri dari Antam, PT Bukit Asam, PT Nikel dan BUMN tambang lainnya," kata Redi.
Terkait permodalan yang dibutuhkan untuk mengelola tambang raksasa tersebut, Redi menilai konsorsium BUMN itu nantinya bisa mendapat penyertaan modal negara atau mencari pendanaan tersendiri dari pinjaman perbankan.
Sebagai contoh Asahan, setelah pemerintah membeli sahamnya dari Jepang lalu dibentuk BUMN PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) untuk mengelola dan itu terbukti bisa. Apalagi Freeport yang setelah kontraknya habis pada 2021 pasti harus mengembalikan asetnya ke negara. Tergantung kemauan politik dari pemerintah," katanya.
Opsi Cicil Saham
            Kalaupun pemerintah ingin menambah porsi sahamnya di Freeport mulai Oktober 2015, Redi berpendapat hal itu bisa juga dilakukan. Tentunya dengan mendesak Freeport agar mengubah rezim kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Kalau Freeport masih mau memperpanjang kontraknya di Indonesia, tentu harus ikut ketentuan IUPK seperti wajib membangun smelter, harus mendivestasikan sahamnya ke pemerintah sesuai jadwal yang ditentukan Undang-Undang, mengutamakan pasokan dalam negeri atau DMO," kata Redi.
Sebelumnya Menteri Sekretaris Negara Praktikno memastikan pemerintah akan secara bertahap memperbesar porsi sahamnya di Freeport yang saat ini memiliki kontrak karya (KK) pertambangan emas dan tembaga di kawasan Papua.
Upaya pengambilalihan saham Freeport sejalan dengan implementasi Peraturan Pemerintah Nomor (PP) 77 tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang menyatakan pembelian saham FPI bisa dimulai pada Oktober 2015.
Ini karena kontraknya (Freeport) baru habis tahun 2021. Maka Kementerian ESDM akan menjaga agar secara bertahap kepemilikan Indonesia semakin besar. Di samping itu, manfaat fiskal dan ekonomi Indonesia dari Freeport juga akan semakin besar," tuturnya.
Praktikno menambahkan, pemerintah juga berencana mengubah format kontrak dari KK menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Ini dilakukan agar negara memiliki posisi yang kuat tatkala melakukan negosiasi.
Terobosan yang tengah dilakukan adalah melalui UU Minerba. Di mana pola hubungan antara negara dengan Freeport, yang semula setara dalam format kontrak karya, akan diubah menjadi Ijin Usaha Pertambangan yang menempatkan posisi negara kita lebih kuat," ujarnya. (gen/ded)

Di dalam kontrak Freeport, besaran iuran tetap untuk wilayah pertambangan yang dibayarkan berkisar antara US$ 0,025-0,05 per hektar per tahun untuk kegiatan Penyelidikan Umum (General Survey), US$ 0,1-0,35 per hektar per tahun untuk kegiatan Studi Kelayakan dan Konstruksi, dan US$ 1,5-3 per hektar per tahun untuk kegiatan operasi eksplotasi/produksi. Tarif iuran tersebut, di seluruh  tahapan kegiatan, dapat dikatakan sangat kecil, bahkan sangat sulit diterima akal sehat. Dengan kurs 1 US$ = Rp 9.000 maka besar iuran Rp 225 hingga Rp 27.000 per hektar per tahun.
Sedangkan menyangkut pengawasan atas kandungan mineral yang dihasilkan, dalam kontrak Freeport tidak ada satu pun yang menyebut secara eksplisit bahwa seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan peleburan harus seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam pengawasan Pemerintah Indonesia. Pasal 10 poin 4 dan 5 memang mengatur tentang operasi dan fasilitas peleburan dan pemurnian tersebut yang secara implisit ditekankan perlunya untuk dilakukan di wilayah Indonesia, tapi tidak secara tegas dan eksplisit bahwa hal tersebut seluruhnya (100%) harus dilakukan atau berada di Indonesia. Hingga saat ini, hanya 29% saja dari produksi konsentrat yang dimurnikan dan diolah di dalam negeri. Sisanya (71%) dikirim ke luar negeri, di luar pengawasan langsung dari pemerintah Indonesia.
Di dalam Kontrak Freeport, tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indoensia dapat sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport. Pun jika Freeport dinilai melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak. Sebaliknya, pihak Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.
Pemegang saham
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. (AS) - 81,28%
Pemerintah Indonesia - 9,36%
PT. Indocopper Investama - 9,36%

Bahan tambang yang dihasilkan
·         Tembaga
·         Emas
·         Silver
·         Molybdenum
·         Rhenium
Selama ini hasil bahan yang di tambang tidak jelas karena hasil tambang tersebut di kapalkan ke luar Indonesia untuk dimurnikan sedangkan molybdenum dan rhenium merupakan hasil sampingan dari pemrosesan bijih tembaga.

Kasus yang baru-baru saja terjadin adalah kaus Setya novanto, Setya novanto meminta jatah saham kepada PT Freeport dengan mengatasnamakan presiden dan wakil peresiden dalam pertemuannya dengan Presiden Direktur PT Freeport, Maroef Sjamsoeddin dan pengusaha minyak Riza Chalid. Pengamat Politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai, Presiden Jokowi harus turun tangan dalam kasus pencatutan nama yang melibatkan PT Freeport Indonesia dengan Ketua DPR RI Setya Novanto.
Pasalnya, kasus ini selain mencatut nama Presiden dan Wakilnya, juga membuat beberapa menteri dan petinggi lembaga negara yang saling bersilang pendapat, sehingga menghasilkan potensi munculnya kegaduhan publik.
“Ini memang sebaiknya segera diperbaiki oleh presiden, mungkin salah satu solusinya dengan perombakan kabinet lagi, dengan orang orang yang bisa bekerja sama, karena menteri yang sekarang sudah berkali kali dihimbau namun tetap bersilang pendapat.” kata Hendri, kepada PRFM. Hendri menekankan, yang berkepentingan memanggil beberapa mentri mengenai kasus ini justru Presiden, karena selain Menkopohulkan Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri ESDM Sudirman Said, juga ada menteri lainnya yang ikut disebut dalam rekaman tersebut. “Saat ini seperti banyak sekali menteri menteri yang seperti ingin menunjukkan prestasi dan eksistensi bagi dirinya, ikut ikutan berkomentar mengenai masalah ini, kesannya seperti untuk menghindari reshuffle.” jelasnya.
“Presiden sebaiknya turun tangan untuk melakukan klarifikasi dan menyatakan sikap terhadap kasus ini. Karena jika mengikuti sidang sejak awal, sudirman said dalam sidang sempat beberapa kali menyebutkan presiden sebagai pihak yang diajak konsultasi dalam pembuatan surat insurance freeport dalam mendapatkan kontrak,” tambahnya.
Hendri mengakui, kasus yang melibatkan PT Freeport ini memang teralu kompleks, sehingga dirinya menghimbau masyarakat untuk jangan hanya mengikuti arahan sutradara yang tertuju pada penurunan Ketua DPR.
“Memang teralu kompleks yg ada di kasus freeport, namun jangan sampai kita hanya mengikuti arahan sutradara yang memang tertuju pada penurunan Setya Novanto, sebab siapapun yg ada di kursi DPR, jika memang betul ada deal yang tidak bagus, akan tetap begitu-begitu saja. Yang paling penting bukan mengungkap pemainnya, tapi siapa dalangnya,” tegas Hendri.
Hendri juga mengingatkan masyarakat untuk tidak mudah terbawa alur cerita sehingga melupakan kepentingan lain yang sebetulnya tidak kalah besarnya.
“MKD ini tidak boleh hanya dikhususkan untuk menjatuhkan Setya Novanto, masyarakat harus ingat ada kepentingan lebih besar yang bisa kita awasi, yaitu perpanjangan kontrak freeport nya sendiri , yang selama ini telah digulirkan oleh Sudirman Said,” pungkasnya.






BAB III
Penutup

3.1 Kesimpulan

          Dalam makalah ini, bisa saya simpulkan bahwa Lahan tambang yang ada di Timika merupakan tempat milik masyarakat Papua khususnya bagi penduduk di Timika yang konon didalamnya terdapat emas dan juga uranium,menurut penduduk disana, lahan itu sejak dahulu dirawat oleh para ketua adat ,tetapi pemerintah Indonesia bernegosiasi dengan negara lain untuk membangun PT. Freeport dan bekerja sama atas lahan tambang emas dan uranium yang menggiurkan itu.Masyarakat Timika tentu tidak mengetahui apa yang dilakukan pemerintah akan lahan tersebut.Hingga kini lahan tersebut menghasilkan lubang raksasa di Erstberg yang diberi nama "Danau Wilson"

3.2 Saran

        Seharusnya Pemerintah Indonesia menindak lanjuti kasus ini. Amerika yang sedang menikmati keuntungannya tetapi Indonesia terkena imbasnya menelan kerugian hingga bertiliun-triliun.yang lebih parahnya lagi penduduk di Timika lebih-lebih terkena imbasnya yang tidak hanya rugi akan materi ,tetapi kekecewaan yang amat mendalam akan tanah leluhurnya yang seharusnya dijaga dan dilestarikannya malah habis digerogoti oleh negara Amerika.

Daftar Pustaka

Kelompok  12 :

Fitria Syavira Harani
Mega Mayasari






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koperasi Teratai Mandiri Pelopor Kesejahteraan Anggota Mako Korps Brimob Kelapa Dua, Depok

Koperasi Teratai Mandiri Pelopor Kesejahteraan Anggota Mako Korps Brimob Kelapa Dua, Depok! Koperasi Teratai Mandiri Lokasi : Jl. Akses UI No.24, Tugu, Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat 16451 ABSTRAK Koperasi Teratai Mandiri didirikan pada tanggal 30 Mei 1984 oleh Drs. Merdekansyah yang beralamat di Jalan Akses UI Kelapa Dua Cimanggis, Depok. Pada awal didirikan koperasi ini diberi nama Primer Koperasi Kepolisian Korps Brigade Mobil atau Primkoppol Korps Brimob. Akibat adanya peraturan baru dari Kepolisian RI bahwa koperasi POLRI tidak boleh mengandung unsur nama POLRI, maka pada tanggal 18 Maret 2011 Primkoppol Korps Brimob berganti nama menjadi Kopersi Teratai Mandiri. Analisis ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai Koperasi Teratai Mandiri sebagai salah satu koperasi terbesar dan terbaik di Indonesia yang melakukan berbagai kegiatan untuk mensejahterakan Anggota Mako Korps Brimob dan masyarakat sekitar koperasi. Menurut Analisis sa

Struktur Organisasi PT Indosat Tbk

STRUKTUR ORGANISASI PT INDOSAT TBK ( DIREKSI & CHIEF )    Ahmad Abdulaziz A A Al-Neama as President Director and CEO             Chief Executive Officer yang menjadi singkatan dari CEO adalah sebuah jabatan eksekutif tertinggi yang bertanggung jawab penuh atas berjalannya perusahaan. Tugasnya meliputi seluruh kegiatan, dari mulai membentuk visi dan misi, menentukan strategi, hingga memanajemen perusahaan secara keseluruhan. Dalam istilah lain, CEO seringkali disamakan dengan seorang Presiden Direktur ataupun Direktur Utama. Namun terkadang ada juga sebuah perusahaan yang memiliki presiden direktur dan CEO dengan orang yang berbeda namun pada perusahaan yang saya ambil disini yaitu PT Indosat Tbk dimana mereka memiliki Presiden Direktur dan CEO dengan orang yang sama, dalam hal ini biasanya presiden direktur akan bertindak sebagai pengevaluasi proses berjalannya perusahaan. Posisi ini merupakan salah satu yang menentukan berjalan dengan baik atau tidaknya

Pengertian Upah,Gaji,Bonus dan Kompensasi

            PENGERTIAN UPAH,GAJI,BONUS DAN KOMPENSASI Pengertian Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada penerima kerja termasuk tunjangan baik untuk pekerja sendiri maupun keluarganya. Upah Biasanya diberikan kepada pekerja yang melakukan pekerjaan kasar dan lebih banyak mengandalkan kekuatan fisik. Jumlah pembayaran upah biasanya diberikan secara harian atau berdasarkan unit pekerjaan yang diselesaikan. Pengertian Gaji adalah merupakan balas jasa yang dibayarkan kepada pemimpin, pengawas, pegawai tata usaha, pegawai kantor serta para manajer lainnya. Proses pembayaran gaji biasanya diberikan dalam setiap bulannya. Gaji biasanya tingkatannya lebih tinggi dari pada pembayaran-pembayaran kepada pekerja-pekerja upahan . Bonus adalah kompensasi tambahan yang diberikan kepada seorang karyawan yang nilainya di atas gaji normalnya. Bonus bisa digunakan sebagai penghargaan terhadap pencapaian tujuan-tujuan spesifik yang ditetapkan oleh perusahaan,