KEBERADAAN
PT.FREEPORT DI INDONESIA
Tulisan
Latar Belakang
Tanah Papua sangat kaya Tembaga dan Emas merupakan sumber daya alam yang
sangat berlimpah yang terdapat di Papua. Papua terkenal dengan produksi emasnya
yang terbesar di dunia dan berbagai tambang dan kekayaan alam yang begitu
berlimpah. Keadaan inilah yang menjadikan Papua sebagai tempat aktivitas
perusahaan tambang, yang bertujuan untuk mengambil sumber daya alamnya.
Sedangkan, PT. Freeport Indonesia adalah
sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki
Freeport-McMoran Copper & Gold Inc., perusahaan ini adalah pembayar pajak
terbesar kepada Indonesia dan merupakan penghasil emas terbesar di dunia
melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua
tempat di Papua, masing-masing tambang Estberg (dari 1967) dan tambang Grasberg
(sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Pupua.
Seiring dengan berjalannya aktivitas
pertambangan banyak sekali terjadi peristiwa yang dinilai tidak banyak membawa
manfaat bagi rakyat Indonesia umumnya dan rakyat Papua khususnya. Banyak
lembaga swadaya masyarakat yang bekerja, meneliti kejadian yang sesungguhnya
tentang PT Freeport di Papua. Dan banyak pula laporan yang berisikan kejahatan
PT Freeport.
Lahan ribuan hektar itu adalah Grasberg. Orang
Amungme di Timika menyebutnya, Gunung Tenogome. Lahan ini sekitar 40 tahun lalu
menjadi sangat berarti untuk penambangan tembaga yang bernilai triliunan rupiah
dikemudian hari. Tambang itu berawal dari sebuah lokasi yang sangat kecil.
Inilah inspirasi terbesar setelah demam emas di Sungai Laloki. Sekitar 10 mil
dari Port Moresby di Papua New Guinea (PNG) pada 1878. Laloki telah menjadi
magnet bagi tim ekspedisi dunia untuk mencari sumber emas lain. Akhirnya mereka
mendapatinya di Papua. Inspirasi ini juga yang membuat pemerintah Belanda
pertama kali memberikan ijin ekspedisi pada Forbes Wilson dan Mozes Kilangin Tenbak untuk mengambil
batu-batuan di Ertsberg. Batuan yang ternyata telah mengantar Amerika
menghasilkan triliunan rupiah pertahun dan menghilangkan nilai yang sama untuk
pemerintah Indonesia. Dalam operasinya, Freeport bisa memperoleh keuntungan
bersih mencapai Rp 1,27 triliun. Setahun setelahnya, 2003, nilainya bahkan naik
hingga Rp 1,62 triliun. Lonjakan itu bertambah pada 2004 menjadi Rp 9,34
triliun.
1.2 Tujuan
Agar para pembaca mengetahui apa saja asal mulanya dan insiden terakhir
kasus PT.Freeport di Timika yang sedang maraknya diberitakan dimasyarakat
indonesia. Sebab,kasus ini hingga sekarang masih belum terselesaikan.Bahkan
pemerintah Indonesia menyimpan permasalahan ini hingga bertumpuk-tumpuk yang
seakan-akan pemerintah seperti menutup mata dengan kasus ini.
BAB II
Pembahasan
2.1 Awal mulanya kasus PT. Freeport
PT Freeport Inonesia, Bukan Sekedar Masalah Renegosiasi Tapi Menegakkan
Kedaulatan RI
Sudah 44 tahun aktivitas pertambangan emas PT
Freeport-McMoran Indonesia (Freeport) bercokol di tanah Papua. Namun selama itu
pula kedaulatan negara ini terus diinjak-injak oleh perusahan asing tersebut.
Pada Kontrak Karya (KK) pertama pertambangan antara pemerintah Indonesia dan
Freeport yang dilakukan tahun 1967 memang posisi tawar pemerintah RI masih
kecil, yaitu hanya sekedar pemilik lahan. Dibandingkan PT Freeport yang
memiliki tenaga kerja dan modal tentu posisi tawar pemerintah saat itu masih
kecil. Namun setelah 44 tahun apakah posisi tawar pemerintah Indonesia masih
rendah? Tentu tidak! Mengacu pada UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan
Batu Bara yang mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk melakukuan renegosiasi
kontrak seluruh perusahaan tambang asing yang ada di negeri ini. UU ini
menggantikan UU Nomor 11 tahun 1967 yang disahkan pada Desember 1967 atau
delapan bulan pasca penandatanganan KK. Berdasarkan data Kementrian ESDM,
sebanyak 65 persen perusahaan tambang sudah berprinsip setuju membahas ulang
kontrak yang sudah disetujui. Akan tetapi sebanyak 35 persen dari total
perusahaan tersebut masih dalam tahap renegosiasi, salah satunya adalah
pengelola tambang emas terbesar di dunia yaitu Freeport.
Menurut Direktur dan CEO Freeport Indonesia,
Armando Mahler, menyatakan bahwa kontrak pertambangan yang dimiliki perusahaan
dengan pemerintah Indoneisa sudah cukup adil bagi semua pihak. Hal ini
mengindikasikan bahwa pihak Freeport enggan untuk patuh kepada UU yang berlaku,
yaitu UU no. 4 tahun 2009 tentang Minerba. Dari sini terlihat bahwa kasus
Freeport ini tidak hanya merugikan negara triliunan rupiah akan tetapi juga
menginjak-injak kedaulatan Republik ini dengan tidak mau patuh terhadap UU yang
berlaku. Menurut seorang pengamat Hankam, Bapak Soeripto, Konflik yang
mendasasari kasus Freeport ini adalah Kontrak Karya (KK) yang telah melecehkan
Indonesia.
Salah seorang pengamat Hankam yang sudah
senior, Bapak Soeripto, menyatakan bahwa PT Freeport telah memberikan sejumlah
dana kepada aparat keamanan TNI/POLRI dalam rangka menjaga keamanan Freeport di
atas tanah Papua. Hal ini jelas menentang UU karena menurut UU pembiayaan
aparat keamanan untuk perlidungan objek vital nasional harus bersumber dari
APBN bukan dari perusahaan asing. Akibatnya banyak putra daerah Papua yang
merasa asing di rumah mereka sendiri. Dari sini terkesan bahwa aparat keamanan
justru lebih membela kepentingan asing dari pada kepentingan bangsanya sendiri.
Padahal mereka harusnya menindak
Freeport yang notabene telah merusak lingkungan dengan membuat lubang tambang
di Grasberg dengan diameter lubang 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha
dengan kedalaman mencapai 800 m2 . Dampak lingkungan yang Freeport berikan
sangat signifikan, yaitu rusaknya bentang alam pegunngan Grasberg dan Ersbeg.
Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km2 di daerah
aliran sungai Ajkwa.
PT Freeport McMoran Indonensia pun telah
berlaku semena-mena kepada karyawan Freeport Indonesia yang kebanyakan adalah
orang asli Indonesia. Menurut pengakuan Bapak Tri Puspita selaku Sekretaris
Hubungan Industri Serikat Pekerja Freeport Indonesia, Freeport bersifat
eksklusif sehingga akses untuk ke rumah sakit ataupun mess pun juga sulit.
Lebih jauh lagi, standart yang dimiliki pekerja Freeport dari Indonesia sama
dengan seluruh karyawan Freeport yang ada di seluruh dunia akan tetapi gaji
yang diterima oleh pekerja dari Indonesia hanya separuhnya. Menariknya lagi,
menurut laporan dari Investor Daily tanggal 10 Agustus 2009, dikatakan bahwa
pendapatan utama PT Freeport McMoran adalah dari operasi tambabangnya yang ada
di Indonesia, yaitu sekitar 60%. Sampai saat ini karyawan Freeport tengah
menjalankan aksi mogok kerja dengan menuntut kenaikan gaji US$ 4 per jam.
Sampai sekarang pihak management Freeport tidak menyetujui tuntutan pekerja
Indonesia tersebut. Bukan keadilan yang didapatkan pekerja Freeport dari
Indonesia yang menuntut kenaikan gaji akan tetapi tudingan sebagai kelompok
separatis lah yang mereka dapat. Padahal mereka hanya menuntut hak-haknya
sebagai warga negara untuk memperoleh kesejahteraan.
Menurut seorang pakar ekonomi dari Universitas
Padjajaran sekaligus aktivis LSM Econit, Ibu Hendri, setidaknya ada tiga alasan
mengapa solusi Freeport ini bukan sekedar negosiasi. Pertama, Yaitu meluruskan
aturan perundang-undangan yang menyimpangkan amanah konstitusi (Pasal 33 UUD
1945). Kedua, Renegoisasi atau perubahan Kontrak Karya (KK) yang tidak memakai
dasar konstitusi tidak akan memberikan manfaat bagi kepentingan rakyat Indonesia.
Dan yang terakhir, rakyat Papua secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum
membutuhkan dana yang besar untuk mengejar ketertinggalan dalam membangun
fasilitas yang diperlukan untuk mendukung pelayanan sosial dan kemajuan
ekonomi.
Indonesia sebagai bangsa yang besar, harusnya
tidak hanya mengejar keuntungan finansial seperti pajak, deviden ataupun
pembagian royalti dari sektor pertambangan akan tetapi juga harus fokus pada
keuntungan ekonomi, ungkap Ibu Hendri. Pemerintah harus mempunyai visi besar
dalam mengelola SDA yang dimiliki. Dalam hal ini, pemerintah harus mempunyai
koridor kebijakan yang jelas mengenai bagaimana pemanfaatan segala sumber daya
alam yang dimiliki untuk kemajuan ekonomi bangsa Indonesia. Sebagai contohnya,
pemerintah China tidak serta merta segera mengekspor kandungan batu bara yang
dimiliki secara besar-besaram ke pasar dunia akan tetapi China menahan produk
batu baranya dalam negeri untuk kepentingan dalam negeri sendiri tersebut untuk
mendorong kemajuan ekonomi negeri tersebut, dalam hal ini sumber energi.
Pak Soeripto yang juga selaku mantan anggota
Badan Intelejen Negara (BIN) mengemukakan analisis yang menarik, menurut
beliau, pasca Perang Dingin, selayaknya bangsa Indonesia sadar bahwa trend
perang dalam masa sekarang adalah perang untuk memperebutkan sumber daya alam
atau resource war. Sekarang negara-negara besar sedang berperang untuk
merebutkan sumber daya alam. Dan ini sudah terjadi di berbagai negara seperti
Iraq, Afganistan, Kongo, Libya, dll. Urusan perebutan masalah sumber daya alam
ini sejatinya tidak memperdulikan berapa korban jiwa yang jatuh. Begitu juga
masalah Freeport, kita tahu sendiri akhir-akhir ini masih sering terjadi aksi
penembakan di Papua yang menelan korban baik kalangan aparat keamanan ataupun putra
daerah Papua sendiri.
Sudah selayaknya kita memandang kasus Freeport
ini selain dengan pemahaman yang mendalam juga dengan kacamata perspektif yang
berbeda. Sehingga kita dapat melihat masalah ini secara komprehensif. Harus
kita ingat bahwa masalah ini bukan sekedar penandatangan kontrak kerja baru, hitam di atas putih. Melainkan
masalah yang lebih krusial lagi, yaitu penegakkan kedaulatan Republik
Indonesia.
Awalnya dari ekspedisi itu, sebelum diketahui oleh pemerintah Indonesia
jika nantinya akan disia-siakan, bersama Freeport Internasional, pemerintah
meneken negosiasi yang menakjubkan. Namanya Kontrak Karya Pertama. Tahun 1967.
Diluar dugaan, orang Papua menganggapnya aneh karena status wilayah masih belum
jelas. Yang mencengangkan kemudian adalah, sebelum Pelaksanaan Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) dilaksanakan pada 1969 atau dua tahun sebelum Free of
Choice, kontrak telah diteken.
Lewat Orde Baru, pemerintah selanjutnya
mengeluarkan UU No:1/1967 tentang Penanaman Modal Asing pada Januari 1967.
Undang-Undang ini untuk merespon keinginan pembukaan tambang baru. Maret 1967,
PT. Freeport Indonesia Incorporate (FII), perusahaan yang dibentuk Freeport
Internasional, diwakili Forbes Wilson akhirnya menandatangani Kontrak Karya
Pertama. Usaha penambangannya di wilayah Pegunungan Selatan Jayawijaya, di
Gunung Erstberg. Dalam bahasa Amungme disebut Yelsegel Ongopsegel.
Penandatanganan untuk operasi tambang selama 30 tahun itu kini telah
menghasilkan lubang raksasa di Erstberg yang diberi nama “Danau Wilson.” Nama
ini diberikan sebagai penghormatan kepada Forbes Wilson. “Sejak awal, negara
memang sudah tidak mengakui adanya masyarakat adat,” tegas Jerry, peserta dari
Nabire dalam Seminar bertema, Satu Tanah; Satu Kultur dan Satu Hati di Hotel
Sentani Indah belum lama ini.
Baginya, sangat luar biasa pemerintah saat itu
langsung membuat kontrak karya. Padahal bagi suku-suku dipedalaman Papua, untuk
memperoleh lahan yang luas, tak
segampang yang dikira. Perlu pertumpahan darah untuk mendapat sejengkal tanah.
Tanah bagi mereka ibarat ibu yang menjaga dan memelihara. Bagi mereka tanah
tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga bermakna religius. Mereka
mempergunakan tanah untuk mendukung segala aktifitas dan menjalankan kehidupan
sehari-hari.
Tapi ini berbeda. Sampai disini, masyarakat
juga tak dapat berbuat banyak. Mereka bahkan berpartisipasi dalam menunjang
ekspedisi pembukaan Freeport. Masyarakat setempat terlibat mulai dari persiapan
di Kokonao hingga pembukaan pemukiman baru di Akimuga. Pada proses pembukaan
lahan ini, Tokoh Amungme,Mendiang Guru Mozes Kilangin Tenbak menceritakannya,
“kitorang berjalan dari gunung ke gunung untuk membuka jalan untuk Freeport
masuk. Kini semua sudah terbuka lebar semua orang datang ke Timika”.
Seseorang yang kemudian menyesali masuknya
Freeport adalah tokoh Amungme, almarhum Tuarek Narkime. “Saya selalu bertanya
kepada Tuhan, mengapa Tuhan menciptakan gunung-gunung batu dan salju yang indah
itu di daerah Suku Amungme? Apakah karena gunung-gunung yang kaya dengan sumber
daya mineral itu, Freeport, ABRI, Pemerintah, dan orang luar untuk datang ke sini
dan mengambilnya demi kepentingan mereka dan membiarkan kami menderita?”.
“Apakah karena itu, kami orang Amungme harus terus menerus ditekan, ditangkap,
dan dibunuh tanpa alasan? Jika alasan itu yang kami maksudkan lebih baik
musnahkan kami, enyahkan kami agar kalian bisa mengambil dan menguasai semua
yang kami miliki”. Kalimat itu masih terngiang hingga kini. Tuarek Narkime,
1994, juga mengatakan, “Sungguh, saya benar-benar marah kepada Tuhan. Mengapa
Dia harus menempatkan segala gunung-gunung yang indah dan barang tambang itu di
sini”. Pergumulan Narkime tanpa disadari kemudian membawa perubahan besar.
Warga Amungme pun marah. Kekecewaan itu berakhir diatas sebuah perjanjian pada
Januari 1974. Hasilnya, mereka mendapat dana satu persen. Freeport juga membentuk
Lembaga Masyarakat Amungme dan Kamoro terutama untuk pengelolaan dana tersebut
yang bagi masyarakat setempat disebut uang darah. Namun kekecewaan belum
berakhir. Persoalan kemudian berlanjut dengan selalu muncul perang antara suku
di Timika. Penembakan, kekerasan, pembunuhan dan pemerkosaan juga menjadi warna
baru setelah itu.
Keberadaan Freeport sejak kontrak karya
ke-satu ilegal dalam transparansi dan ketetapan pajak bagi negara. Hasil
Freeport baru diketahui secara resmi dan diatur dalam Undang-undang negara
Indonesia sejak kontrak karya ke-2. Nah, Kontrak karya pertama Freeport tahun
1967 sesungguhnya fiktif.
Indonesia sudah rugi sejak Freeport masuk.
Sekarang pun tetap rugi karena konstitusi Negara mendukung emas dibawa ke
Amerika dan negara Lainya di dunia. Pemerintah sibuk dengan kasus-kasu keamanan
perusahaan di Papua, sedangkan ekonomi bangsa terabaikan. Nah, diawah ini
adalah gambaran apa saja tentang Freeport yang sudah berlalu.
Agar bangsa ini dapat merefleksikan bagaimana
solusi terbaik bagi Papua dan tentunya martabat bangsa Indonesia di ukur sejak
penanganan kasus semacam Freeport diPapua. Dengan cadangan 25 milyar pon
tembaga, 40 juta ons emas dan 70 juta ons perak, nilainya sekitar 40 milyar
dollar AS berdasarkan harga berlaku. Freeport diberikan jaminan untuk bekerja
di lokasi pertambangan untuk bertahun-tahun. Jika menemukan tambahan kekayaan
mineral di atas 4,1 juta hektar di tanah sekitarnya akan menjadi hak eksklusif
Freeport.
Indonesia menjawab Tuntutan Rakyat Papua
terkait keberadaan PT. Freeport Indonesia. Catatan singkat dampak Sosial
(konflik ) yang timbul sejak kehadiran PT. Freeport di Tanah Papua. Posisi
Negara dalam mengatasi Freeport, suatu masalah sekarang. Berikut adalah aspek
konflik dan penanganan Negara diawali dari tahun 2009 hingga 2006.
Negara (Pemerintah) dalam kasus PT. Freeport
yang sudah terjadi, belum ada niat baik untuk menyambut tuntutan rakyat Papua,
terutama soal Freeport. Sikap rakyat Papua meminta penyelesaian Freeport,
selalu saja di jawab dengan bedil senjata, konflik perang suku, mobilisasi
aparat militer di areal Freeport bahkan membanjirnya dana-dana taktis Negara
lebih pada pengutamaan pengamanan asset perusahaan ketimbang Negara memberi
ruang kedaulatan kepada warga Negara sendiri.
Sejarah
PT. Freeport Indonesia (PTFI atau Freeport)
PT. Freeport Indonesia (PTFI atau Freeport)
adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Perusahaan ini merupakan perusahaan
penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia
telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang
Ertsberg (dari 1967 hingga 1988) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan
Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Freeport-McMoRan berkembang
menjadi perusahaan dengan penghasilan US$ 6,555 miliar pada tahun 2007. Mining
Internasional, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport
sebagai yang terbesar di dunia.
Freeport mulai banyak menarik perhatian
masyarakat setelah terungkapnya berbagai
permasalahan dan insiden yang terjadi di wilayah konsesi pertambangan
perusahaan tersebut. Berbagai pendapat, baik dari media, lembaga swadaya
masyarakat, serta akademisi menyoroti masalah yang berkaitan dengan pencemaran
lingkungan, adaptasi sosio-kultural, keterlibatan TNI, bahkan hal-hal yang
berkaitan dengan politik separatis dari kelompok penduduk asli. Namun, dalam
pembahasan ini permasalahan yang akan diulas adalah yang berkaitan dengan tidak
optimalnya pengelolaan potensi ekonomi sumberdaya mineral di wilayah
pertambangan tersebut bagi penerimaan negara.
Dalam tulisan berikut akan diuraikan mengenai
potensi tembaga dan emas yang tersimpan di Grasberg dan Erstberg, serta
pengelolaan pertambangan Freeport yang tidak optimal bagi pemerintah Indonesia.
Akibatnya, manfaat ekonomi yang diperoleh pemerintah Indonesia tidak maksimal.
Bahkan, dapat dikatakan Indonesia mengalami kerugian negara yang sangat besar
karena tidak optimal, tidak adil, tidak transparan dan bermasalahnya pengelolaan
sumberdaya mineral itu.
Kontrak
Karya yang Merugikan dari Generasi ke Generasi
Freeport memperoleh kesempatan untuk mendulang
mineral di Papua melalui tambang Ertsberg sesuai Kontrak Karya Generasi I (KK
I) yang ditandatangani pada tahun 1967. Freeport adalah perusahaan asing
pertama yang mendapat manfaat dari KK I. Dalam perjalanannya, Freeport telah
berkembang menjadi salah satu raksasa dalam industri pertambangan dunia, dari
perusahaan yang relatif kecil. Hal ini sebagian besar berasal dari keuntungan
yang spektakuler sekaligus bermasalah yang diperoleh dari operasi pertambangan
tembaga, emas, dan perak di Irian Jaya, Papua.
KK I dengan Freeport ini terbilang sangat
longgar, karena hampir sebagian besar materi kontrak tersebut merupakan usulan yang
diajukan oleh Freeport selama proses negosiasi, artinya lebih banyak disusun
untuk kepentingan Freeport. Dalam operasi pertambangan, pemerintah Indonesia
tidak mendapatkan manfaat yang proposional dengan potensi ekonomi yang sangat
besar di wilayah pertambangan tersebut. Padahal bargaining position pemerintah
Indonesia terhadap Freeport sangatlah tinggi, karena cadangan mineral tambang
yang dimiliki Indonesia di wilayah pertambangan Papua sangat besar bahkan
terbesar di dunia. Selain itu, permintaan akan barang tambang tembaga, emas dan
perak di pasar dunia relatif terus meningkat. Dengan kondisi cadangan yang
besar, Freepot memiliki jaminan atas future earning. Apalagi, bila ditambah
dengan kenyataan bahwa biaya produksi yang harus dikeluarkan relatif rendah
karena karakteristik tambang yang open pit. Demikian pula emas yang semula
hanya merupakan by-product, dibanding tembaga, telah berubah menjadi salah satu
hasil utama pertambangan.
Freeport sudah sejak lama berminat memperoleh
konsesi penambangan tembaga di Irian Jaya. KK I Freeport disusun berdasarkan UU
No 1/67 tentang Pertambangan dan UU No. 11/67 tentang PMA. KK antara pemerintah
Indonesia dengan Freeport Sulphur Company ini memberikan hak kepada Freeport
Sulphur Company melalui anak perusahaannya (subsidary) Freeport Indonesia
Incorporated (Freeport), untuk bertindak sebagai kontraktor tunggal dalam
eksplorasi, ekploitasi, dan pemasaran tembaga Irian Jaya. Lahan ekplorasi
mencangkup areal seluas 10.908 hektar selama 30 tahun, terhitung sejak kegiatan
komersial pertama. KK I mengandung banyak sekali kelemahan mendasar dan sangat
menguntungkan bagi Freeport. Kelemahan- tersebut utamanya adalah sebagai
berikut:
(1) Perusahaan yang digunakan adalah Freeport
Indonesia Incorporated, yakni sebuah perusahaan yang terdaftar di Delaware,
Amerika Serikat, dan tunduk pada hukum Amerika Serikat. Dengan lain perkataan,
perusahaan ini merupakan perusahaan asing, dan tidak tunduk pada hukum
Indonesia.
(2) Dalam kontrak tidak ada kewajiban mengenai
lingkungan hidup, karena pada waktu penandatanganan KK pada tahun 1967 di
Indonesia belum ada UU tentang Lingkungan Hidup. Sebagai contoh, akibat belum
adanya ketentuan tentang lingkungan hidup ini, sejak dari awal Freeport telah
membuang tailing ke Sungai Aikwa sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.
(3) Pengaturan perpajakan sama sekali tidak
sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan yang berlaku, baik jenis pajak
maupun strukturnya. Demikian juga dengan pengaturan dan tarif depresiasi yang
diberlakukan. Misalnya Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN.
(4) Tidak sesuainya struktur pajak maupun
tarif pajak yang diberlakukan dalam KK I dirasakan sebagai pelanggaran terhadap
keadilan, baik terhadap perusahaan lain, maupun terhadap Daerah. Freeport pada
waktu itu tidak wajib membayar selain PBB juga, land rent, bea balik nama
kendaraan, dan lain-lain pajak yang menjadi pemasukan bagi Daerah.
(5) Tidak ada kewajiban bagi Freeport untuk
melakukan community development. Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya
tidak memberi dampak positif secara langsung terhadap masyarakat setempat. Pada
waktu itu, pertambangan tembaga di Pulau Bougenville harus dihentikan
operasinya karena gejolak sosial.
(6) Freeport diberikan kebebasan dalam
pengaturan manajemen dan operasi, serta kebebasan dalam transaksi dalam devisa
asing. Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal, antara lain: tax holiday
selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya selama 7
tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu pajak yang
dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%. Freeport juga dibebaskan dari
segala jenis pajak lainnya dan dari pembayaran royalti atas penjualan tembaga
dan emas kecuali pajak penjualannya hanya 5%.
Keuntungan yang sangat besar terus diraih
Freeport, hingga Kontrak Karya I diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang
tidak direnegosiasi secara optimal. Indonesia ternyata tidak mendapatkan
manfaat sebanding dengan keuntungan besar yang diraih Freeport.
Ketentuan-ketentuan fiskal dan finansial yang dikenakan kepada Freeport
ternyata jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan yang berlaku negara-negara
Asia dan Amerika Latin.
Perpanjangan Kontrak Karya II seharusnya
memberi manfaat yang lebih besar, karena ditemukannya potensi cadangan baru
yang sangat besar di Grasberg. Kontrak telah diperpanjang pada tahun 1991,
padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997. Pada kenyataannya ini
adalah kehendak dari orang-orang Amerika di Freeport, dan merupakan indikasi
adanya kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam proses negosiasi untuk
mendapat keuntungan pribadi dari pertambangan di bumi Irian Jaya itu.
Kontrak Karya II tidak banyak mengalami
perbaikan untuk memberikan keuntungan finansial tambahan yang berarti bagi
pihak Indonesia. Perubahan yang terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham
dan dalam hal perpajakan. Sementara itu, besarnya royalti tidak mengalami
perubahan sama sekali, meskipun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas.
Penemuan emas di Grasberg merupakan cadangan emas terbesar di dunia.
Dalam Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut
royalti atau iuran eksploitasi/produksi (pasal 13), menjelaskan bahwa sistem
royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas prosentase dari penerimaan
penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari prosentase penjualan bersih.
Penjualan bersih adalah penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya
peleburan (smelting), biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang
dikeluarkan Freeport dalam penjualan konsentrat. Prosentase royalti (yang
didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih juga tergolong sangat
kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1% flat
fixed untuk logam mulia (emas dan perak). Di dalam kontrak Freeport, besaran
iuran tetap untuk wilayah pertambangan yang dibayarkan berkisar antara US$
0,025-0,05 per hektar per tahun untuk kegiatan Penyelidikan Umum (General
Survey), US$ 0,1-0,35 per hektar per tahun untuk kegiatan Studi Kelayakan dan
Konstruksi, dan US$ 1,5-3 per hektar per tahun untuk kegiatan operasi
eksplotasi/produksi. Tarif iuran tersebut, di seluruh tahapan kegiatan, dapat
dikatakan sangat kecil, bahkan sangat sulit diterima akal sehat. Dengan kurs 1
US$ = Rp 9.000 maka besar iuran Rp 225 hingga Rp 27.000 per hektar per tahun.
Sedangkan menyangkut pengawasan atas kandungan
mineral yang dihasilkan, dalam kontrak Freeport tidak ada satu pun yang
menyebut secara eksplisit bahwa seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan
peleburan harus seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam pengawasan
Pemerintah Indonesia. Pasal 10 poin 4 dan 5 memang mengatur tentang operasi dan
fasilitas peleburan dan pemurnian tersebut yang secara implisit ditekankan
perlunya untuk dilakukan di wilayah Indonesia, tapi tidak secara tegas dan eksplisit
bahwa hal tersebut seluruhnya (100%) harus dilakukan atau berada di Indonesia.
Hingga saat ini, hanya 29% saja dari produksi konsentrat yang dimurnikan dan
diolah di dalam negeri. Sisanya (71%) dikirim ke luar negeri, di luar
pengawasan langsung dari pemerintah Indonesia.
Di dalam Kontrak Freeport, tidak ada satu
pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indoensia dapat
sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport. Pun jika Freeport dinilai melakukan
pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak.
Sebaliknya, pihak Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika
mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya
sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.
Pemasukan 37 Trilyun dari 1992-2006
Sejak tahun 1992-2006 total pemasukan Freeport
kepada negara Indonesia adalah 37 Trilyun, dari hasil pembayaran Pajak Negara
dan daerah. Sedangkan keuntungan Freeport adalah menyuplai 40 ribu ton Emas ke
Amerika selama beroperasi.
Pada 1995, ada empat proyek infrastruktur yang
mulai dibangun oleh Freeport di Papua Barat, yakni :
1. Pengembangan pelabuhan Amamapare, dari mana
konsentrat emas dan tembaga diekspor atau nantinya diantarpulaukan.
Proyek senilai US$ 100 juta ditangani PT ALatief
P & O Port Development Company (APPDC), perusahaan kongsi antara ALatief
Nusakarya Corporation dengan maskapai angkutan laut P & O Australia Ltd.
Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak pada pertengahan Mei 1995, perusahan
itu mendapat hak kelola pelabuhan Amamapare selama 10 tahun dan bisa
diperpanjang.
2. Pembangunan sebuah kota baru
Proyek senilai US$ 250 juta, langsung
ditangani AFIC. Kota baru yang diresmikan Soeharto pada awal Desember 1995
dengan nama Kuala Kencana itu berdiri pada ketinggian 4.200 meter di atas
permukaan laut, seluas 17.400 hektar. Demi, kenyamanan para kapitalis,
birokrat, serta kapitalis-birokrat, kota itu dilengkapi lapangan golf kelas
turnamen yang dirancang pegolf AS, Ben Crenshaw.
Freeport memindahkan perkantorannya dari
Tembagapura yang diresmikan Soeharto 23 tahun sebelumnya yang hanya dibangun
untuk kapasitas penduduk 1.200 jiwa ke Kuala Kencana. Sedangkan Kuala Kencana
sendiri dibangun dengan kapasitas 25.000 jiwa, sangat luas untuk menampung
karyawan Freeport yang sudah mencapai 12.000 jiwa.
3. Pembangunan sarana pembangkit tenaga
listrik bagi tambang emas dan tembaga yang baru, Grasberg, alias Gunung Bijih
Timur.
Proyek ini ditangani PT Puncakjaya Power
Corporation, usaha patungan antara Freeport (30%), Power Link Corporation
(30%), Duke Energy dari AS (30%), dan PT Catur Yasa (10%).
4. Pembangunan bandara Timika
Proyek ini mulai dilaksanakan pada Juni 1995
ditangani PT Airfast Aviation Facilities Company (AVCO), yang 45% sahamnya
dikuasai PT Airfast Indonesia, 30% oleh PT Giga Haksa yang merupakan anak
perusahaan Catur Yasa, dan 25% oleh Freeport.
Seluruh proyek itu dikoordinasi oleh PT A
Latief Freeport Infrastructure Corporation (AFIC), yang 67 persen sahamnya
dikuasai oleh kelompok A. Latief dan 33 persen sisanya oleh Freeport
Proyek yang total investasinya mencapai US$50
juta (waktu itu diperhitungkan Rp 125 milyar), terdiri dari pembangunan kawasan
bandara terpadu lengkap dengan segala sarana pendukungnya, serta pengadaan tiga
pesawat Twin Otter, dua pesawat Boeing B 737-200, serta tujuh helikopter.
2.2 Insiden terakhir kasus PT. Freeport
Insiden terakhir yang kemudian membuat sejumlah pihak mengecam Freeport
adalah, tertembaknya seorang warga
Negara Australia di mile 53 Tembagapura oleh orang tak dikenal. Insiden ini
menuai protes ke Freeport yang dikenal super ketat dalam pengamanannya.
Sekretaris Dewan Adat Papua Leonard Imbiri juga merasa heran atas peristiwa
tersebut. Dia bahkan menyesali komentar TNI yang telah menjustifikasi Organisasi
Papua Merdeka (OPM) sebagai pelaku sebelum ada pemeriksaan dan pembuktian
valid. “Aneh penyidikan belum selesai sudah ada yang dituduh,” tutur Imbiri
kepada Jubi belum lama ini.
Atas insiden tersebut, Gubernur Papua,
Barnabas Suebu, menegaskan, jelas bukan dilakukan oleh masyarakat sipil.
“Apalagi masyarakat disana sudah menerima dana satu persen dalam peningkatan
sumber daya mereka,” tutur Suebu. Pernyataan Suebu belakangan diikuti sejumlah
media di Papua dengan menterakan sumber orang tak dikenal dalam kasus tersebut.
Akhirnya, sulit memang untuk menentukan kapan konflik akan berakhir di Timika.
Jika saja Timika adalah Bandung, mungkin konflik tak akan terjadi. Sayangnya
Timika adalah Freeport. Timika adalah emas dan perak. Dan Timika adalah gula.
Disitu sangat jelas akan ada semut yang berkeliaran. Mulai dari jasa pengamanan
hingga pengusaha kelas teri. Mulai dari penjual jamu hingga swalayan raksasa.
Selayaknya Freeport yang diibaratkan gula meski dinikmati secara merata.
Tujuannya untuk menghindari konflik yang suatu saat bisa akan kembali. Jelaslah
seperti dikatakan, mantan Ketua Umum Forum Cendekia Muslimah Peduli ICMI
Sulawesi Selatan, Sutina Made. “Dengan cara itu, sumber daya alam akan
dimasukkan dalam kategori kepemilikan publik yang pengelolaannya diserahkan
pada Negara dan hasilnya dikembalikan sebesar-besarnya kepada rakyat,” ujarnya.
Dia mengatakan, kini saatnya giliran
intelektual Papua mengoptimalkan kemampuannya dalam menyelamatkan sumber daya
alam Papua. Bisa lewat promosi strategi managemen sumber daya alam yang lebih
baik, khususnya di areal tambang Freeport, agar bisa membangun sinergi antara pemerintah,
perguruan tinggi dan masyarakat. Jika tidak dilakukan dari sekarang, niscaya
konflik akan terus berkembang. Masyarakat juga akan terus menanggung semua
resikonya. Tidak hanya soal kekerasan dan pelanggaran HAM, tapi juga dampak
lingkungan dari Freeport. “Para intelektual Indonesia khususnya cendekiawan
Papua harus memberi solusi bagaimana sumber daya alam Papua dikelola secara adil,”
katanya. Keadilan ini tidak saja untuk Freeport dan penguasa di Papua, tapi
juga untuk 37,53 % keluarga Papua yang dihimpit kemiskinan. (Tim Jubi/DAM))
Rencana Pemerintahan Joko Widodo mengambil
sedikit demi sedikit saham PT Freeport Indonesia mulai Oktober 2015
diperkirakan tidak akan mudah. Sebagai salah satu perusahaan milik Amerika
Serikat yang mengelola tambang terbesar di dunia, dipastikan pemerintah Negeri
Paman Sam tidak akan tinggal diam.
"Berbicara Freeport pasti berbicara
kepentingan Amerika Serikat, dan tantangannya bagi Presiden Jokowi adalah
bagaimana memperkuat dan mempertegas pengambilalihan tersebut. Intervensi ke
Istana Negara pasti akan ada," ujar Ahmad Redi, pengamat hukum sumber daya
alam Universitas Tarumanegara, usai menjadi pembicara diskusi di Kementerian
ESDM, Jakarta, Selasa (26/5).
Namun jika pemerintah bisa menegaskan niat dan
sikapnya untuk menguasai seluruh saham Freeport secara bertahap, sampai kontrak
karya habis pada 2021, Redi mengusulkan pengelolaan tambang Grasberg di Papua
tersebut bisa diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pertambangan.
"Pemerintah bisa menugaskan BUMN tertentu
atau membentuk konsorsium BUMN baru yang terdiri dari Antam, PT Bukit Asam, PT
Nikel dan BUMN tambang lainnya," kata Redi.
Terkait permodalan yang dibutuhkan untuk
mengelola tambang raksasa tersebut, Redi menilai konsorsium BUMN itu nantinya
bisa mendapat penyertaan modal negara atau mencari pendanaan tersendiri dari
pinjaman perbankan.
Sebagai contoh Asahan, setelah pemerintah
membeli sahamnya dari Jepang lalu dibentuk BUMN PT Indonesia Asahan Alumunium
(Inalum) untuk mengelola dan itu terbukti bisa. Apalagi Freeport yang setelah
kontraknya habis pada 2021 pasti harus mengembalikan asetnya ke negara.
Tergantung kemauan politik dari pemerintah," katanya.
Opsi Cicil Saham
Kalaupun pemerintah ingin menambah porsi sahamnya di Freeport mulai
Oktober 2015, Redi berpendapat hal itu bisa juga dilakukan. Tentunya dengan
mendesak Freeport agar mengubah rezim kontrak karya menjadi izin usaha
pertambangan khusus (IUPK).
Kalau Freeport masih mau memperpanjang
kontraknya di Indonesia, tentu harus ikut ketentuan IUPK seperti wajib
membangun smelter, harus mendivestasikan sahamnya ke pemerintah sesuai jadwal
yang ditentukan Undang-Undang, mengutamakan pasokan dalam negeri atau
DMO," kata Redi.
Sebelumnya Menteri Sekretaris Negara Praktikno
memastikan pemerintah akan secara bertahap memperbesar porsi sahamnya di
Freeport yang saat ini memiliki kontrak karya (KK) pertambangan emas dan tembaga
di kawasan Papua.
Upaya pengambilalihan saham Freeport sejalan
dengan implementasi Peraturan Pemerintah Nomor (PP) 77 tahun 2014 tentang
Perubahan Ketiga atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara yang menyatakan pembelian saham FPI bisa
dimulai pada Oktober 2015.
Ini karena kontraknya (Freeport) baru habis
tahun 2021. Maka Kementerian ESDM akan menjaga agar secara bertahap kepemilikan
Indonesia semakin besar. Di samping itu, manfaat fiskal dan ekonomi Indonesia
dari Freeport juga akan semakin besar," tuturnya.
Praktikno menambahkan, pemerintah juga
berencana mengubah format kontrak dari KK menjadi Izin Usaha Pertambangan
(IUP). Ini dilakukan agar negara memiliki posisi yang kuat tatkala melakukan
negosiasi.
Terobosan yang tengah dilakukan adalah melalui
UU Minerba. Di mana pola hubungan antara negara dengan Freeport, yang semula
setara dalam format kontrak karya, akan diubah menjadi Ijin Usaha Pertambangan
yang menempatkan posisi negara kita lebih kuat," ujarnya. (gen/ded)
Di dalam kontrak Freeport, besaran iuran tetap
untuk wilayah pertambangan yang dibayarkan berkisar antara US$ 0,025-0,05 per
hektar per tahun untuk kegiatan Penyelidikan Umum (General Survey), US$
0,1-0,35 per hektar per tahun untuk kegiatan Studi Kelayakan dan Konstruksi,
dan US$ 1,5-3 per hektar per tahun untuk kegiatan operasi eksplotasi/produksi.
Tarif iuran tersebut, di seluruh tahapan
kegiatan, dapat dikatakan sangat kecil, bahkan sangat sulit diterima akal
sehat. Dengan kurs 1 US$ = Rp 9.000 maka besar iuran Rp 225 hingga Rp 27.000
per hektar per tahun.
Sedangkan menyangkut pengawasan atas kandungan
mineral yang dihasilkan, dalam kontrak Freeport tidak ada satu pun yang
menyebut secara eksplisit bahwa seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan
peleburan harus seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam pengawasan
Pemerintah Indonesia. Pasal 10 poin 4 dan 5 memang mengatur tentang operasi dan
fasilitas peleburan dan pemurnian tersebut yang secara implisit ditekankan
perlunya untuk dilakukan di wilayah Indonesia, tapi tidak secara tegas dan
eksplisit bahwa hal tersebut seluruhnya (100%) harus dilakukan atau berada di
Indonesia. Hingga saat ini, hanya 29% saja dari produksi konsentrat yang
dimurnikan dan diolah di dalam negeri. Sisanya (71%) dikirim ke luar negeri, di
luar pengawasan langsung dari pemerintah Indonesia.
Di dalam Kontrak Freeport, tidak ada satu
pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indoensia dapat
sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport. Pun jika Freeport dinilai melakukan
pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak.
Sebaliknya, pihak Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika
mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya
sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.
Pemegang saham
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. (AS) -
81,28%
Pemerintah Indonesia - 9,36%
PT. Indocopper Investama - 9,36%
Bahan tambang yang
dihasilkan
·
Tembaga
·
Emas
·
Silver
·
Molybdenum
·
Rhenium
Selama ini hasil bahan yang di tambang tidak
jelas karena hasil tambang tersebut di kapalkan ke luar Indonesia untuk
dimurnikan sedangkan molybdenum dan rhenium merupakan hasil sampingan dari
pemrosesan bijih tembaga.
Kasus yang baru-baru saja terjadin adalah kaus
Setya novanto, Setya novanto meminta jatah saham kepada PT Freeport dengan
mengatasnamakan presiden dan wakil peresiden dalam pertemuannya dengan Presiden
Direktur PT Freeport, Maroef Sjamsoeddin dan pengusaha minyak Riza Chalid.
Pengamat Politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai, Presiden
Jokowi harus turun tangan dalam kasus pencatutan nama yang melibatkan PT
Freeport Indonesia dengan Ketua DPR RI Setya Novanto.
Pasalnya, kasus ini selain mencatut nama
Presiden dan Wakilnya, juga membuat beberapa menteri dan petinggi lembaga
negara yang saling bersilang pendapat, sehingga menghasilkan potensi munculnya
kegaduhan publik.
“Ini memang sebaiknya segera diperbaiki oleh
presiden, mungkin salah satu solusinya dengan perombakan kabinet lagi, dengan
orang orang yang bisa bekerja sama, karena menteri yang sekarang sudah berkali
kali dihimbau namun tetap bersilang pendapat.” kata Hendri, kepada PRFM. Hendri
menekankan, yang berkepentingan memanggil beberapa mentri mengenai kasus ini
justru Presiden, karena selain Menkopohulkan Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri
ESDM Sudirman Said, juga ada menteri lainnya yang ikut disebut dalam rekaman
tersebut. “Saat ini seperti banyak sekali menteri menteri yang seperti ingin
menunjukkan prestasi dan eksistensi bagi dirinya, ikut ikutan berkomentar
mengenai masalah ini, kesannya seperti untuk menghindari reshuffle.” jelasnya.
“Presiden sebaiknya turun tangan untuk
melakukan klarifikasi dan menyatakan sikap terhadap kasus ini. Karena jika
mengikuti sidang sejak awal, sudirman said dalam sidang sempat beberapa kali
menyebutkan presiden sebagai pihak yang diajak konsultasi dalam pembuatan surat
insurance freeport dalam mendapatkan kontrak,” tambahnya.
Hendri mengakui, kasus yang melibatkan PT
Freeport ini memang teralu kompleks, sehingga dirinya menghimbau masyarakat
untuk jangan hanya mengikuti arahan sutradara yang tertuju pada penurunan Ketua
DPR.
“Memang teralu kompleks yg ada di kasus
freeport, namun jangan sampai kita hanya mengikuti arahan sutradara yang memang
tertuju pada penurunan Setya Novanto, sebab siapapun yg ada di kursi DPR, jika
memang betul ada deal yang tidak bagus, akan tetap begitu-begitu saja. Yang
paling penting bukan mengungkap pemainnya, tapi siapa dalangnya,” tegas Hendri.
Hendri juga mengingatkan masyarakat untuk
tidak mudah terbawa alur cerita sehingga melupakan kepentingan lain yang
sebetulnya tidak kalah besarnya.
“MKD ini tidak boleh hanya dikhususkan untuk
menjatuhkan Setya Novanto, masyarakat harus ingat ada kepentingan lebih besar yang
bisa kita awasi, yaitu perpanjangan kontrak freeport nya sendiri , yang selama
ini telah digulirkan oleh Sudirman Said,” pungkasnya.
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Dalam makalah ini, bisa saya simpulkan bahwa Lahan tambang yang ada di
Timika merupakan tempat milik masyarakat Papua khususnya bagi penduduk di
Timika yang konon didalamnya terdapat emas dan juga uranium,menurut penduduk
disana, lahan itu sejak dahulu dirawat oleh para ketua adat ,tetapi pemerintah
Indonesia bernegosiasi dengan negara lain untuk membangun PT. Freeport dan
bekerja sama atas lahan tambang emas dan uranium yang menggiurkan
itu.Masyarakat Timika tentu tidak mengetahui apa yang dilakukan pemerintah akan
lahan tersebut.Hingga kini lahan tersebut menghasilkan lubang raksasa di
Erstberg yang diberi nama "Danau Wilson"
3.2 Saran
Seharusnya Pemerintah Indonesia menindak lanjuti kasus ini. Amerika yang
sedang menikmati keuntungannya tetapi Indonesia terkena imbasnya menelan
kerugian hingga bertiliun-triliun.yang lebih parahnya lagi penduduk di Timika
lebih-lebih terkena imbasnya yang tidak hanya rugi akan materi ,tetapi
kekecewaan yang amat mendalam akan tanah leluhurnya yang seharusnya dijaga dan
dilestarikannya malah habis digerogoti oleh negara Amerika.
Daftar Pustaka
Kelompok 12 :
Fitria Syavira Harani
Mega Mayasari
Komentar
Posting Komentar